Kumpulan Tulisan dan Berita tentang Gerakan Mahasiswa

Saturday, November 15, 1997

Sang Pandito Orde Baru

Oleh Syamsuddin Haris

SEPANJANG sejarah kebangsaan kita, paling kurang ada dua pihak yang menolak, dan karena itu bisa dianggap sebagai "penghambat" berkembangnya gagasan demokrasi. Pertama, pemerintah kolonial Belanda yang setiap saat berupaya mematikan ide, gerakan, dan aktivitas dari kalangan elite pergerakan kebangsaan kita yang menuntut persamaan derajat, kebebasan, dan kemerdekaan. Melalui politik rust en orde, kaum pergerakan yang mencoba mengangkat harkat rakyat nusantara dibungkam dan ditindas, dan tokoh-tokohnya dibuang serta dipenjarakan. Atas nama ketertiban, persamaan hak-hak politik dan ekonomi di antara berbagai unsur masyarakat, Hindia Belanda dinafikan. Masyarakat kita bahkan diperlakukan sebagai inlander, yang memiliki hak-hak terbatas dan berbeda dengan golongan Eropa dan Timur Asing.

Hambatan kedua datang dari sebagian elite pergerakan sendiri yang menolak ide demokrasi sebagai alternatif terbaik bagi susunan masyarakat Indonesia yang dibayangkan. Selama periode awal abad ke-20, kalangan yang paling vokal menentang ide demokrasi ini berkumpul di dalam organisasi Comitee voor het Javaansche Nationalisme (Komite Nasionalisme Jawa) yang dipimpin oleh Raden Mas Soetatmo Soerjokoesoemo. Melalui komite yang sengaja dibentuk untuk menyebarluaskan gagasan "nasionalisme Jawa" ini Soetatmo menjadi juru bicara bagi upaya pembangunan kembali kebudayaan dan tradisi Jawa.

Dalam perdebatannya dengan Tjipto Mangoenkoesoemo--seorang demokrat dan penganjur emansipasi politik bagi kaum bumiputera--pada tahun 1918 misalnya, Soetatmo mempersoalkan kemampuan ide demokrasi mencapai masyarakat yang dicita-citakan. Menurut Soetatmo, ide persamaan dan pemerintahan rakyat merupakan khayalan belaka. Di dalam demokrasi, kata Soetatmo selanjutnya, "tidak akan ada persatuan, hanya perpecahan, tidak ada ketertiban, hanya kekacauan" (Sabdo Pandito Ratoe, 1929). Keadaan tertib, tenteram, adil, dan makmur (tata tentrem karta raharja) hanya bisa dicapai apabila prinsip kearifan dan kebijaksanaan dikembangkan oleh sang ayah di dalam keluarga. Apa pun yang dikatakan ayah adalah arif dan ideal, baik untuk keluarga, demikian juga bagi negara.

Cara berpikir Soetatmo memang berangkat dari penyamaan keluarga dengan negara. Soetatmo mengibaratkan negara sebagai sebuah keluarga, dan sang ayah yang berlaku sebagai kepala keluarga dianggap identik dengan kedudukan kepala negara. Bagi Soetatmo, tidak mungkin seorang anak mempunyai hak-hak yang sama dengan seorang ayah. Sebab, jika demikian itu yang terjadi, anak-anak akan melawan orang tuanya, dan itu berarti pertentangan serta ketidakstabilan di dalam keluarga atau negara. Karena itu, untuk menjamin ketenteraman dan ketertiban, keluarga (negara) harus dipimpin oleh seorang ayah, bapak, atau sang pandito yang bijaksana. Tanpa seorang pandito yang bijaksana, keluarga atau negara akan mengalami kekacauan.

Negara Integralistik

Simplifikasi atas konsep negara seperti inilah yang kemudian dilanjutkan oleh Profesor Soepomo ketika mengemukakan pemikirannya mengenai "negara integralistik" di dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Sumber dan rujukan Soepomo memang tidak seluruhnya berasal dari Soetatmo. Tapi jelas sekali, Soepomo menentang hak-hak dasar manusia selaku warga negara khususnya, dan kedaulatan rakyat pada umumnya yang menjadi arus utama perjuangan kaum pergerakan dan diperjuangkan dengan gigih oleh Bung Hatta di dalam BPUPKI. Bagi Soepomo--yang didukung pula oleh Bung Karno, tidak ada dualisme antara negara dan individu, juga antara susunan hukum negara dan susunan hukum individu. Karena itu, negara harus bersatu dengan seluruh rakyatnya mengatasi seluruh golongan di dalam lapangan apa pun.

Akar-akar geneologis pemikiran Soetatmo dan Soepomo bersumber dari gagasan bersatunya hamba dan tuan (jumbuhing kawula-gusti) dalam pemikiran tradisional Jawa tentang negara ideal. Menurut perspektif yang berkembang pesat pada abad ke-16 sampai ke-19 itu, negara yang tenteram dan sejahtera hanya dapat dicapai apabila kawula dan gusti bersatu, sebagaimana menyatunya manusia dengan sang Pencipta.

Gagasan yang kemudian "dipinjam" oleh Soekarno melalui Demokrasi Terpimpinnya, serta tumbuh subur di bawah Orde Baru itu, memang tidak bertolak dari ide demokrasi. Bahkan, seperti di atas, pemikiran yang kemudian dikenal sebagai konsep "negara kekeluargaan" ini dikembangkan untuk menolak ide persamaan, kebebasan mengeluarkan pikiran dan pendapat, kebebasan berserikat, dan kedaulatan rakyat pada umumnya yang menjadi benang merah gagasan demokrasi. Dalam pertumbuhan ide kebangsaan selama periode 1908-1945, kerangka pemikiran model Soetatmo dan Soepomo sebenarnya merupakan arus pinggiran yang "menyempal" di tengah arus utama perdebatan intelektual kaum pergerakan mengenai Indonesia yang dicita-citakan.

Oleh karena itu, agak mengherankan sekaligus memprihatinkan jika banyak kalangan, termasuk intelektual, ternyata merasa safe dengan keinginan simbolik Pak Harto menjadi pandito. Seakan-akan selama ini Pak Harto belum menjadi pandito dalam arti yang sesungguhnya. Suka atau tidak, sejak dipilih kembali untuk ketiga kalinya sebagai presiden (1978), kita secara kolektif melalui MPR sebenarnya telah memperlakukan Pak Harto sebagai sang pandito Orde Baru. Segenap kekuatan politik resmi dan para elite pemerintahan kehilangan kreativitas politik mereka, karena setiap kali harus memohon "restu", "petunjuk", dan wicaksono dari Pak Harto selaku pandito. Lebih dari itu, pernyataan dan pilihan politik Pak Harto hampir selalu dipandang sebagai cermin dari kearifan, kebajikan, dan kebijaksanaan beliau selaku "Bapak" bagi keluarga Orde Baru.

"Negara Kekeluargaan"

Akibatnya, pertama, hampir tidak ada sikap korektif dan kritis terhadap Pak Harto selaku Presiden Republik kita. Sikap demikian telanjur dipandang sebagai perlawanan terhadap "bapak" atau sang pandito yang dianggap bisa membawa ketidakstabilan di dalam negara.

Sejak gerakan mahasiswa bangkrut pada akhir 1970-an, kritik terbuka masyarakat terhadap Pak Harto bisa dikatakan berkurang secara drastis. Kritik terhadap Orde Baru hampir selalu berputar di sekitar partai dan DPR yang mandul, birokrasi (sipil dan ABRI) yang over-acting, dan berbagai kebijakan politik serta ekonomi yang tidak fair dan diskriminatif. Lembaga kepresidenan sebagai faktor determinan malah menjadi institusi politik yang sensitif dan seolah-olah "tabu" untuk dikritik. Pengalaman dan nasib kelompok Petisi 50 sejak tahun 1980--beberapa anggotanya bahkan akhirnya "bertobat"--sampai Sri-Bintang Pamungkas (1996) dan Subadio Sastrosatomo (1997) memperlihatkan dengan jelas kecenderungan tersebut.

Kedua, dalam praktiknya, "negara kekeluargaan" benar-benar menjadi milik keluarga. Prioritas pertama bagi posisi-posisi politik adalah para anggota keluarga sendiri: anak, istri, menantu, dan seterusnya. Kalau bukan anggota keluarga, mereka harus memiliki komitmen untuk melindungi "keselamatan" keluarga utama, dengan sang pandito di pucuknya. Kecenderungan serupa berlaku pula dalam pemberian fasilitas, proteksi, dan monopoli atas sumber-sumber ekonomi yang penting di dalam negara.

Pada gilirannya, kecenderungan yang dikemukakan di atas berimplikasi luas. Batas-batas antara kepentingan negara dan vested interest keluarga menjadi begitu kabur, sehingga acap tidak jelas, apakah titik berat loyalitas birokrat dan ABRI, misalnya, lebih kepada negara, atau justru untuk keluarga. Dan, dalam kerangka demikian, pilihan-pilihan politik yang mengatasnamakan negara hampir pasti terbebani dan terkait dengan kepentingan keluarga.

Oleh karena itu, nasib Republik kita harus menjadi agenda serius para politisi dan anggota MPR dewasa ini. Kalau tidak, kita selamanya akan mengaku sebagai Republik dan negara demokrasi, tapi masih terperangkap pada sindrom pandito negara patrimonial.

Majalah D&R, 15 November 1997

Sumber