Kumpulan Tulisan dan Berita tentang Gerakan Mahasiswa

Thursday, April 13, 2006

Mungkinkah Mahasiswa Bersatu (Kembali)?

http://www.detik.com/kolom/200101/2001125-212453.shtml

Penulis: Aditya Perdana *


detikcom - Maraknya aksi mahasiswa yang menuntut Presiden Abdurrahman Wahid untuk mundur dari kursi kepresidenan akhir-akhir ini membawa romantika pergerakan mahasiswa tahun 1998 ketika menjatuhkan rezim Orde Baru. Tema besar yang dibawakan hampir sama yaitu mengkritisi pemerintahan yang belum berada di jalur demokrasi sesungguhnya. Namun kondisi gerakan mahasiswa saat ini jauh berbeda dengan keadaan 3 tahun lalu.

Kalau dahulu mereka mampu bersatu dalam kekuatan besar yang bernama mahasiswa karena mempunyai musuh bersama yang dianggap layak dijatuhkan, mempunyai keinginan merubah bangsa ini agar lebih demokratis, atau menganggap rezim yang ada sudah selayaknya digantikan dengan kekuatan rakyat yang sesungguhnya. Tetapi sekarang, keadaan telah berubah. Lalu, bagaimana dengan peta gerakan mahasiswa serta kondisi yang saat ini membutuhkan kesatuan gerak mahasiswa dalam mengkritisi pemerintahan, akan menjadi pertanyaan di tulisan ini.

Pasca Mei 1998, gerakan mahasiswa seakan tercerai berai. Euforia kemenangan atas kejatuhan Suharto begitu besar yang akibatnya banyak elemen mahasiswa lupa diri dan hanya menyerahkan begitu saja kepada elit-elit politik. Seterusnya, penentangan terhadap diadakan atau tidak Sidang Istimewa November 1998 adalah bukti awal bahwa gerakan mahasiswa, walau belum kelihatan secara detail, akan terpolarisasi menjadi dua kutub. Dan yang menjadi realitas adalah menjamurnya elemen gerakan mahasiswa baik di dalam atau di luar kampus menambah keyakinan akan polarisasi itu. Hingga saat ini, polarisasi tersebut semakin kuat dan menjadi sulit disatukan kembali.

Ada dua fase utama di mana gerakan mahasiswa semakin terpolarisasi, yang mungkin lebih disebabkan faktor ideologisnya untuk membawa arah dan tujuan gerakan itu. Pertama, fase antara Mei 1998 hingga berlangsungnya Pemilu bahkan ditarik lebih jauh lagi naiknya Gus Dur sebagai presiden. Pada fase ini, mahasiswa dihadapkan berbagai persoalan awal bangsa setelah reformasi berhasil digulirkan.

Sidang Istimewa MPR menjadi perdebatan yang hebat hingga konflik fisik yang menimbulkan banyak korban. Kondisi ini disebabkan oleh dua kekuatan yang menginginkan dibentuknya semacam Komite Rakyat tanpa memperdulikan jalur konstitusional dan membentuk presidium bagi pemerintahan transisi. Sementara di sisi yang berseberangan menginginkan ada jalur konstitusional lewat mekanisme Sidang Istimewa untuk mengeluarkan mandat kepada presiden baru yaitu Habibie untuk mengadakan pemilu paling lambat tahun 1999 untuk memilih presiden dan wakil rakyat yang baru. Peristiwa itu diiringi dengan aksi besar-besaran dan mengakibatkan tragedi Semanggi dengan aparat yang ganas.

Setelah itu, RUU PKB yang rencananya akan dilegalkan oleh pemerintahan Habibie menambah korban keganasan militer. Sebenarnya, penolakan mahasiswa terhadap RUU ini telah gencar dilakukan tetapi kekuatan negara masih mampu menjatuhkan gerakan rakyat. Bahkan akhirnya penilaian mahasiswa tentang keberadaan RUU ini ditanggapi beragam pula karena melihat dari sisi yang berbeda tetapi mampunyai satu visi yang sama, RUU PKB tidak layak dilegalkan jika belum ada perubahan secara signifikan.

Polarisasi gerakan mahasiswa bisa dilihat secara general yiatu gerakan mahasiswa yang terus konsisten akan beberapa isu utama reformasi seperti cabut dwifungsi TNI, adili Soeharto dan kroninya, dan sebagainya. Dan gerakan ini diwakili oleh elemen mahasiswa ekstra-kampus yang lebih bersifat sosialis dalam pergerakan yaitu Forkot, Forbes, LMND dan sebagainya.
Sementara gerakan mahasiswa berikutnya lebih peduli kepada persoalan bangsa terutama jalannya pemerintahan dalam menjalankan amanah reformasi yang telah disepakati dalam Enam Visi Reformasi. Elemen ini diwakili oleh badan atau organisasi intra-kampus seperti Senat Mahasiswa, Badan Eksekutif Mahasiswa universitas di Jawa atau bahkan Indonesia (seperti JMI).

Lalu, gerakan mahasiswa yang tergabung dalam HMI, KAMMI, GKMNI,PMII atau yang lainnya dapat dimasukkan ke dalam kategori yang di atas secara masing-masing (seperti HMI lebih cocok ke tipikal kedua bersama KAMMI, sedangkan GKMNI dan PMII lebih cocok tipikal pertama), karena mereka pada umumnya tidak secara fokus gerakannya, hanya dapat menyikapi keadaan bangsa secara temporer dan beberapa isu saja. Dan kadangkala elemen mahasiswa ini ada sangkut pautnya dengan beberapa partai, sehingga pergerakan mereka seringkali diidentikkan dengan kepentingan partai tertentu.

Kedua adalah fase setelah Gus Dur naik menjadi presiden hingga saat ini. Polarasasi yang disebutkan di atas semakin tajam adanya. Bahkan penyatuan untuk beraksi dalam satu momen yang sama enggan untuk dilakukan. Sehingga, aksi mahasiswa dalam setahun belakangan ini membawa agenda-agenda yang berbeda-beda. Seperti, agenda yang dibawa oleh Forkot untuk pengadilan Suharto atau agenda permasalahan amandemen UUD 45 yang diangkat oleh gerakan mahasiswa yang berasal dari lembaga formal pada Sidang Tahunan MPR adalah cermin perbedaan agenda yang dibawa oleh mahasiswa saat ini.

Walaupun diakui bahwa keduanya sangat setuju dengan isu yang diangkat, hanya saja pola gerakan dan metodenya berbeda. Bahkan, layaknya kekuatan politik, hingga kini, tambahan polarisasi gerakan mahasiswa, di mana ada kelompok mahasiswa yang telah mempunyai bargaining politik dengan pemerintahan sekarang untuk mengambil keuntungan tertentu dalam label mahasiswanya. Entah itu keuntungan materi atau usaha memberi dukungan penuh terhadap pemerintahan ini. Contoh dalam kasus terakhir ini (kasus Buloggate yang menghebohkan), kenapa mahasiswa tidak mampu membuktikan diri untuk menyatukan kekuatan lagi dikala isu yang kuat saat ini adalah maraknya KKN gaya baru yang dimunculkan rezim sekarang. Sedangkan isu ini telah disepakati untuk diberantas oleh seluruh elemen masyarakat termasuk mahasiswa.

Sementara, kalau beranjak dalam pola pikir bahwa apa pun bentuk polarisasi gerakan mahasiswa asalkan mempunyai isu bersama yang dimunculkan, saya pikir akan kembali menyatukan sebuah kekuatan massa yang telah hilang itu. Ternyata hal itu disayangkan karena ada indikasi yang telah saya sebutkan di atas bahwa sebagian kekuatan mahasiswa takluk akan kekuatan materi yang ditawarkan oleh penguasa rezim. Ditambah pula, lihainya penguasa dengan mengambil jalur kekuatan massa serta dukungan yang pro terhadapnya sehingga keyakinan saya bahwa sebagian kelompok mahasiswa berada dalam jalur ini adalah benar adanya.

Mengungkap kebenaran dalam koridor moralitas ditambah dengan kekuatan intelektualitas adalah ciri khas mahasiswa. Kalaupun akhirnya ada kelompok mahasiswa yang melenceng dari hal ini, saya khawatir integritas mereka yang diharapkan sebagai kader pimpinan bangsa ini sangat jauh dari harapan rakyat untuk sekedar berbicara kejujuran saja.

Untuk itu, saya sebenarnya berada dalam kalangan orang yang pesimistis untuk sekedar melihat saja bahwa kekuatan mahasiswa tidak akan mampu lagi menyatukan diri. Karena ada setidaknya tiga alasan, pertama, jika saja kekuatan moral mampu dibeli, maka tidak akan pernah ada lagi kebenaran yang diungkapnya. Kedua, mahasiswa yang tetap berada dalam koridor intelektual dan moralitas, sesungguhnya adalah pejuang-pejuang yang rela berkorban demi rakyatnya sehingga ketiga, penyatuan itu takkan mungkin terlaksana dengan dua kondisi mahasiswa yang sudah berbeda itu karena masing-masing telah terkooptasi dengan egonya yang sangat sulit dilakukan.

Tetapi, saya termasuk orang yang optimis jika melihat ternyata masih banyak mahasiswa yang mau berjuang di jalan mencari kebenaran tanpa pamrih. Ketika melihat kenyataan bahwa respon mahasiswa terhadap kasus Buloggate sangat beragam, sesungguhnya saya melihatnya dalam pola pikir seperti di atas.@

* Penulis adalah mahasiswa FISIP UI jurusan Ilmu Politik, aktivis Lingkar Studi Dialektika dan pengurus BEM UI bidang Sosial Politik.

Saturday, April 08, 2006

Gerakan Mahasiswa dan Organisasi Kemahasiswaan Era 1990-an

http://www.isnet.org/archive-milis/archive95/dec95/0158.html

Oleh Fadli Zon

Sebuah gerakan mahasiswa tidak akan lahir dalam situasi vakum. Dinamisasi merupakan syarat yang tak bisa dihindarkan ketika mahasiswa menuntut kembali peran politiknya dalam interaksi politik nasional. Relevansi mempertanyakan peran mahasiswa Indonesia memang tepat pada waktunya, saat depolitisasi hampir mencapai titik jenuh. Situasi yang berubah ditandai menaiknya tuntutan demokratisasi dan hak-hak asasi manusia mempercepat pergeseran-pergeseran kekuasaan di tingkat elit serta mempertinggi kesadaran rakyat pada umumnya tentang what's going on in this country.

Titik jenuh depolitisasi kampus memang harus terjadi. Lebih dari sepuluh tahun mahasiswa berada dalam penjara ketidakterlibatan politik yang menyebabkan putusnya akar gerakan mahasiswa sebelum nya. Keadaan ini merupakan konsekuensi logis dari kekalahan-kekalahan beruntun gerakan mahasiswa sejak 1970-an. Bermula dari gerakan moral menuju gerakan politik, gerakan mahasiswa 1970-an ditunggangi pertarungan elit. Gerakan mahasiswa1966 yang telah menjadi mitos gerakan mahasiswa Indonesia hingga kini dianggap berhasil memenangkan pertarungan, yang sebenarnya telah didisain oleh Angkatan Darat. Sebagai ujung tombak kemenangan, demikian Angkatan 1966 sering diidentifikasi, mereka telah masuk dalam grand design elit yang menang. Akibatnya ketika Orde Lama tumbang dan Orde Baru masuk dalam pentaspolitik Indonesia, tidak ada alternatif disain yang ditawarkan gerakan mahasiswa, suatu bukti bahwa mahasiswa hanya menjadi alat dan mediatorpeople's power. Ketika kemenangan tiba, mahasiswa disingkirkan dan berusaha direduksi kekuatan politiknya. Hanya saja, hal yang tak bisa dipungkiri dari Angkatan 1966 adalah kemenangannya memilih partner politik yang kuat, yang tidak berhasil pada 1974 dan seterusnya.

Puing-puing gerakan mahasiswa yang ditinggalkan atas kekalahan gerakan mahasiswa 1978 menjadi klimaks legitimasi pemerintah untuk memberangus bibit-bibit baru gerakan mahasiswa. Putuslah sudah perjuangan politik mahasiswa secara nasional yang membawa isu-isu substansial mengenai strategi pembangunan dan persoalan negara secara makro.

Angkatan 1980-an mencoba menyambung getaran-getaran yang masih tersisa dari kehancuran gerakan mahasiswa itu. Upaya-upaya sistematis dari pemerintah untuk mereduksi kekuatan politik mahasiswa makin gencar dengan proyek Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), penempatan rektor sebagai penguasa tunggal di kampus, dan berbagai bentuk campur tangan korporatis yang takhentinya memerintahkan mahasiswa untuk menjadikan kampus sebagai tempat belajar. Sendi-sendi politik mahasiswa dipatahkan dengan tesis pendidikan sebagai pemenuhan tekno struktur pembangunan.

Tak terhindarkan lagi, peran lembaga intra kampus yang dulu dimotori DewanMahasiswa (DM) hapus sudah. Pereduksian politik ini berhasil dan akibatnya menyurut pula peran lembaga ekstra universitas. Organisasi kemahasiswaan seperti HMI, GMNI, GMKI, PMKRI, PMII semakin kurang laku di kalangan mahasiswa. Angkatan 1980-an mencoba memajukan tesis baru berupa kelompok studi yang menurut mereka sebagai warming up menuju proses yang akhirnya memunculkan situasi anomik. Mereka lebih memilih menunggu momentum ketimbang menciptakan momentum, sehingga dalam proses sejarahnya yang tidak ditunjang kaderisasi, kelompok studi-kelompok studi yang semula menjamur akhirnya lenyap perlahan-lahan. Aktor-aktornya menjadi elit individual dan jauh dari basis massa. Di sisi lain kelompok demokrasi jalanan atau parlemen jalanan memuntahkan isu-isu populis lokal dan berharap suatu saat isu-isu lokal itu akan menjadi isu nasional. Tetapi demokrasi jalanan inipun tidak kuatstaminanya. Sedangkan LSM cenderung lebih akomodatif terhadap kegiatan aksi dan refleksi, tetapi peran mahasiswa di lembaga ini relatif terbatas dibanding peran mantan-mantan aktivis.

Ada beberapa kekurangan-kekurangan Angkatan 1980-an. Pertama, ketiadaan kaderisasi. Kelompok studi maupun demokrasi jalanan dimotori oleh orang yangitu-itu juga. Kedua, ketiadaan basis massa. Situasi massa memang tidak mendukung, proyek depolitisasi berhasil, tindakan represif mengancam setiapgerakan mahasiswa yang membawa isu-isu substansial. Ketiga, disakumulasi kekuatan mahasiswa. Menyadari pereduksian politik yang berakibat posisimahasiswa berada di jalur peripheral, pinggiran, mestinya kekuatan-kekuatansporadis mahasiswa melakukan akumulasi, saling bergandeng tangan. Tetapiyang terjadi adalah saling menuduh dan saling menghakimi antara kelompok studi dan demokrasi jalanan. Bahkan sesama demokrasi jalanan pun terjadi kleim-mengkleim tentang sebuah move. Ada semacam arogansi, sayangnya arogansi ini lahir dari kaum pinggiran yang makin dimarjinalisasi sehingga kekuatan gerakan mahasiswa 1980-an mengalami disakumulasi kekuatan, power disaccumulation. Bisa dibayangkan jika sebuah kelompok marjinal yang makinmarjinal, ingin "menggoyang" center yang makin menguat. Hasilnya adalah kegagalan Angkatan 1980-an. Angkatan Baru
Membangun sebuah gerakan mahasiswa baru, gerakan mahasiswa 1990-an, bukan hal mudah. Puing-puing gerakan mahasiswa sebelumnya masih membayang-bayangi. Adalah satu keberanian menggulirkan diskursus gerakan mahasiswa 1990-an di tengah kehancuran politik mahasiswa. Bahkan istilah gerakan mahasiswa1990-an adalah nama yang mendahului sejarah. Seringkali angka-angka 1908,1928, 1945, 1966, 1974, 1978, lahir setelah terjadi, post factum. Angka-angka itu pun erat kaitannya dengan sebuah momentum. Bisakah gerakan mahasiswa 1990-an menciptakan momentum ketimbang menunggu momentum, karena memang momentum tidak akan datang dari langit. Kare nanya agenda gerakan mahasiswa 1990-an haruslah menghela sejarah, bukan menunggu masa krisis maupun momentum yang dihela oleh elit-elit politik yang bertikai.

Pesimisme kemungkinan terbangunnya suatu kekuatan baru mahasiswa memang ada. Pertama, aksi-aksi mahasiswa sekarang hanya merupakan bentuk gagah-gagahan dan "menapaktilas" Angkatan 1966. Aksi-aksi itu masih dilingkupi romantisme Angkatan 1966 yang ikut mendongkel Orde Lama. Kedua, aksi-aksi mahasiswasekarang kurang dibekali landasan konsepsional yang matang serta peta politik, ekonomi, yang akurat. Hal ini merupakan dampak NKK yang mengisolasikan mahasiswa dari politik dan persoalan kemasyarakatan. Ketiga,aksi-aksi lebih banyak mengandalkan liputan media massa ketimbang berdiri otonom. Keempat, aksi-aksi bersifat sporadis, temporer dan reaktif, tidakmembangun isu dari bawah. Sementara isu yang dimunculkan juga bersifatsesaat tidak perubahan mendasar. Kelima, dampak NKK masih terasa dan proyekdepolitisasi kampus masih diterapkan. Kebanyakan mahasiswa menjadi asing terhadap persoalan-persoalan bangsanya sendiri. Keenam, gerakan mahasiswa sendiri terpecah belah dalam banyak faksi mewakili kepentingan yang bervariasi dengan strategi gerakan yang juga beragam. Ketujuh, ormas kepemudaan dan ormas kemahasiswaan kurang berperan dan semakin tidak kritis terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Sehingga, kehadiran aksi-aksi sulit diharapkan menjadi pressure group bagi pemerintah.

Di samping pesimisme itu ada faktor eksternal dan internal yang mendukung optimisme. Faktor eksternal adalah faktor di luar dunia kemahasiswaan atau gerakan mahasiswa yaitu perubahan cuaca politik. Cuaca politik di era1990-an mengalami kemajuan terutama dengan dibukanya keran keterbukaan oleh pemerintah, meskipun belum pada tahap yang diharapkan. Kuatnya isu demokrasi dan hak asasi manusia di dunia internasional telah membawa perhatian pemerintah untuk lebih arif menyelesaikan persoalan-persoalan pemerintah dengan rakyat seperti kasus tanah, upah buruh, monopoli, dan seterusnya. Terjadi pula perubahan power block, blok kekuasaan, dalam konstalasi pemerintahan Orde Baru. Arief Budiman menyebut ini sebagai realiansi, dari Soeharto-Katolik-CSIS-Ali Murtopo ke Soeharto-Islam-ICMI-Habibie yang dipicuUU Peradilan Agama tahun 1989. Berturut-turut Islam, yang selama dua dekade Orde Baru ditempatkan sebagai ekstrem kanan, mendapat akomodasi politik seperti dengan kehadiran ICMI, CIDES, BMI, penghapusan pelarangan jilbab, penghapusan SDSB, dan seterusnya. Meskipun akomodasi politik Islam ini masih bersifat artifisial, namun ia telah membawa kegairahan baru di kalangan umat Islam yang selama ini marjinal dalam politik Indonesia. Hal ini merupakan harapan baru bagi upaya demokratisasi di Indonesia. Tanpa keterlibatan mayoritas, tidak mungkin tercipta demokrasi di Indonesia. Karenanya Islam di Indonesia harus mendorong demokratisasi. Ini merupakan suatu revolution from above yang menjadi blessing in disguise bagi demokratisasi di Indonesia.

Faktor internal adalah faktor dalam dunia kemahasiswaan sendiri. Perlahan-lahan, kesadaran politik mahasiswa mulai kembali meskipun belum pada derajat memahami politik itu. Kepedulian terhadap nasib rakyat yang tertindas masih hadir dan makin hidup. Hal ini tecermin dalam banyak kasus seperti pembelaan terhadap kasus tanah, upah buruh, dan seterusnya. Meskipun pembelaan itu masih dalam kerangka "reaktif" namun masih ada harapan. Contoh yang menarik adalah kasus SDSB tahun 1993. Angkatan 1990-an berhasil menggelindingkan bola salju SDSB sehingga isu lokal populis ini dengan akseleratif menjadi isu nasional yang tak terelakkan dan akumulatif.Menghadapi itu, pemerintah mau tak mau harus mencabut SDSB. Meskipun kemenangan ini kecil, bahkan pemerintah dan ABRI mendapat citra baik dalampencabutan SDSB ini, tetapi tak bisa disangkal bahwa pupusnya SDSB telah menjadi platform dan legitimasi bahwa gerakan mahasiswa masih ada, dan demonstrasi sebagai jalan akhir ketika dialog macet, masih efektif digunakan. Ini merupakan stepping stone bagi gerakan mahasiswa 1990-an.

Kasus SDSB merupakan fenomena menarik melihat gerakan mahasiswa 1990-an. Sebagai sebuah batu loncatan, hapusnya SDSB harus dilihat secara optimistik bahwa dalam isu-isu tertentu akan terjadi konsolidasi yang begitu kuat menghadapi policy pemerintah yang tidak dikehendaki rakyat. Argumentasi relijius dan ekonomis ternyata cukup kuat untuk mendongkel sebuah kebijakan.Terjadilah the unity of action dari berbagai kelompok mahasiswa mulai dari kelompok mahasiswa yang bernafaskan kelompok studi, parlemen jalanan atau demokrasi jalanan, aktivis lembaga mahasiswa SMPT, aktivis ekstra kampus,OKP berbasis mahasiswa dan kelompok mahasiswa relijius. Bahkan dalam perkembangannya, ketika aksi-aksi anti SDSB telah meluas, pihak-pihak tertentu yang semula tidak concern soal SDSB, mungkin juga mendukung SDSB,secara mengejutkan berusaha ikut membonceng dengan niatan berbeda. Keberhasilan gerakan mahasiswa dalam isu SDSB harus diakui tertolong oleh power block politik yang ada. Pemerintah tidak mau berhadapan dengan Islam, hanya untuk mempertahankan SDSB.

Fenomena Baru Gerakan Mahasiswa

Hadirnya argumentasi relijius sebenarnya merupakan salah satu fenomena baru1990-an. Paling tidak ada tiga fenomena baru gerakan mahasiswa 1990-an yang sejauh ini dapat dicatat yaitu fenomena relijius, kesadaran internasional dan kecenderungan konvergensi aksi-refleksi.
Fenomena relijius yang ditandai menguatnya unsur relijiusitas dalam aktivitas kemahasiswaan sebagai reaksi atas pencepatan sekularisme ke arahstagnan dan arus umum revival of faith di masyarakat telah melahirkan sebuahkelompok baru: kelompok mahasiswa relijius. Faktor lain yang memunculkan kelompok ini adalah ketidakmampuan organisasi-organisasi ekstra kampus menjawab tantangan zaman karena memang telah surut akibat depolitisasi kampus. Kalau dulu HMI, PMKRI, GMNI, PMII dan organisasi sejenis memiliki basis di kampus, maka sekarang akar organisasi ekstra itu tercerabut dikampus dan makin tidak populer. Berbeda dengan kelompok studi atau demokrasijalanan di tahun 1980-an maka kelompok mahasiswa relijius menempatkan tema-tema politik setelah tema-tema ideologis sehingga mereka tidak secara eksplisit menyatakan sikap terhadap perkembangan sosial politik diIndonesia. Bagi mereka, proses terpenting adalah pembinaan diri terus-menerus sehingga dalam proses itu mereka benar-benar survive lalu keluar sebagai manusia yang mampu menjawab tantangan dunia sekelilingnya.Dalam kalimat yang lebih pendek sebut saja tarbiyatul qoblal jama'ah, pendidikan yang terus-menerus sebelum membentuk society. Jadi, mereka mempunyai kesadaran politik tetapi lebih memilih membina diri pribadi mereka dahulu ketimbang terlibat dalam isu-isu politik. Hanya dalam isu-isu tertentu saja mereka terlibat.

Bagi kelompok mahasiswa relijius persoalannya adalah tidak kondusifnya lingkungan bagi penerapan keberagamaan mereka, termasuk tidak akomodatifnya sistem yang ada. Untuk itu perlu dibentuk suatu masyarakat yang lebihagamis baik secara keimanan maupun budi pekerti, tingkah laku, sehingga terjadi kesatuan penerapan antara iman, amal dan ilmu. Pengertian keberagamaan yang umum didekonstruksi sedemikian rupa dengan semangat purifikasi. Sebagai konsekuensi pembinaan ke dalam, terjadi pembatasan yang agak transparan antara kelompok mahasiswa relijius dengan kelompok-kelompokmahasiswa pada umumnya. Pada derajat tertentu pembatasan itu mengarah padaekslusivisme sehingga mendukung pengkotakan mereka sebagai kaum"fundamentalis." Namun tentu saja derajat itu berbeda-beda. Dalam prosesberikutnya bahkan sebagian kelompok mahasiswa relijius lebih tanggap terhadap perubahan tanpa emosional.

Basis kelompok mahasiswa relijius termasuk yang paling kuat di antara kelompok-kelompok mahasiswa lainnya. Mereka hadir di jantung-jantungfakultas universitas baik negeri maupun swasta dan mempunyai network yang terbina rapi. Komitmen mereka yang kuat atas perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan tampaknya akan mempunyai peran penting di tahun-tahun mendatang. Apalagi jika komitmen itu menyatu dengan nafas zaman ini yang diidentifikasi sebagai masa tuntutan demokratisasi dan pemenuhan hak-hakasasi manusia.
Sementara fenomena kesadaran internasional lahir karena globalisasi informasi yang cepat, menguatnya diskursus demokrasi dan hak-hak asasi manusia dan kesadaran perlunya menggandeng kekuatan internasional dalam pemenuhan demokrasi dan hak-hak azasi manusia itu. Selain itu mungkin pula karena apatisme terhadap perjuangan isu lokal yang hampir selalu gagal. Hal menarik dari kesadaran internasional ini adalah kaitannya dengan kesadaranrelijius. Munculnya advokasi-advokasi masalah Bosnia-Herzegovina-Serbia, Perang Teluk, Irak-Amerika, PLO-Israel, Aljazair dan Somalia, tidak lepasdari persoalan solidaritas agama.
Sedangkan kecenderungan konvergensi aksi-refleksi tampak dalamkelompok-kelompok mahasiswa yang ada. Pada dasarnya intelektualitas atau kecendekiawanan tetap harus menjadi pegangan. Masalah cara, apakah dialog, lobi, mimbar bebas atau unjuk rasa bukanlah persoalan intelektualitas. Intelektualitas itu ditentukan substansi yang disampaikan dikaitkan dengan argumentasi yang berdasar kuat dan mempunyai konsep yang jelas.

Pada Angkatan 1980-an, berbenturannya kelompok studi dan demokrasi jalanan selain perbedaan ideologi, juga perbedaan persepsi pendekatan gerakan.Kelompok studi dan LSM cenderung tidak apriori terhadap pemerintah dengan memajukan persoalan-persoalan yang bersifat transformatif dan korektif seperti pengembangan isu demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Sedangkan demokrasi jalanan memilih pembatasan yang tegas, non kooperatif dengan pemerintah dalam bentuk komite-komite aksi yang pragmatis berdasar isu lokaltertentu dengan harapan melibatkan gerakan rakyat.

Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa

Lembaga kemahasiswaan SMPT (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi) merupakan bagian penting dari fenomena 1990-an. Berlakunya SMPT ini berdasarkan SK Mendikbud Fuad Hassan No. 0457/U/1990 sekaligus mengakhiri NKK/BKK. Walau demikian dampak buruk NKK/BKK dalam aktivitas kemahasiswaan masih tampakjelas hingga kini. Ketika itu Fuad menegaskan bahwa pembentukan senat pada fakultas dan universitas tidak ada kaitannya dengan DM (Dewan Mahasiswa)yang telah diberangus.

Semula beberapa perguruan tinggi menolak konsep SMPT ini termasuk ForumKomunikasi SM-BPM Universitas Indonesia. Berikut adalah sejumlah alasanpenolakan terhadap SMPT. Pertama, SMPT tidak mengakar ke mahasiswa umumnya,tidak populis. Kedua, hubungan SMPT dengan lembaga-lembaga mahasiswa lainseperti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) hanya bersifat koordinatif sehingga suara tidak menyatu, mudah terpecah belah. Ketiga, adanya peluang menjadikan SMPT sebagai wadah permainan elit mahasiswa belaka. Keempat, tidak diakuinya fungsi legislatif mahasiswa yang seharusnya menjalankan fungsi kontrolterhadap eksekutif. Kelima, SMPT tidak mandiri, tidak otonom, dan tidak independen karena berada di bawah kekuasaan rektorat yang berhak ikut campurdalam persoalan SMPT. SMPT dianggap sebagai upaya kooptasi birokrat kampus. Sebagian lagi menilai SMPT adalah perpanjangan NKK/BKK yang berubah bentuk. Keenam, ada pula yang menilai SMPT harus ditolak karena pemberian pihaklain, bukan dari mahasiswa untuk mahasiswa.

Sejumlah alasan tersebut telah diungkapkan pada awal tahun 1990-an. Darisinilah aktivis mahasiswa intrakampus terbelah kembali. Namun, sebagianbesar kampus-kampus di Indonesia akhirnya menerima SMPT dengan beberapacatatan. Alasan utama penerimaan SMPT itu adalah adanya celah dalam pasal 16ayat 2 dari SK Mendikbud yang menyatakan bahwa petunjuk teknis pelaksanaan keputusan ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi. Dengan modal ini, aturan main SMPT ditentukan oleh institusi perguruan tinggi masing-masing. Aktivis intrakampus akhirnya bermain diantara celah-celah yang hasilnyadapat dilihat dengan keberadaan SMPT dewasa ini. SMPT-SMPT itu menjadiberagam strukturnya. SM UGM, misalnya, mempunyai kongres yang membawahi SMPT, UKM dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) secara sejajar. Ada mekanisme legislatif-eksekutif. SM UI mengambil celah melalui pemisahan tugas antara Ketua Umum SMPT, yang bertindak sebagai legislatif, dan Ketua Harian SMPT,sebagai eksekutif. Pola pemilihan di SM UI mengalami berbagai perubahan.Dalam usianya yang masih muda itu, tampaklah SMPT mulai kelihatan berperan dalam berbagai isu lokal maupun nasional. SM UGM yang memajukan soal lembaga kepresidenan, SM UI yang mengusulkan rancangan GBHN adalah contoh gerakan yang strategis dilakukan SMPT pada awal berdirinya. SMPT-SMPT jugamengedepankan persoalan korupsi dan kolusi, mengajukan proposal perlunyapembatasan monopoli dan seterusnya. Selain itu, sebagian pimpinan SMPTterlibat dalam pengorganisasian komite-komite mengetengahkan isu-isu tertentu yang tidak bisa membawa nama lembaga. Termasuk dalam kasus SDSB, pimpinan-pimpinan SMPT aktif memimpin massa mahasiswa.

Perlu diakui, ada beberapa kesulitan untuk membawa nama SMPT dalam melakukan gerakan. Untuk melakukan dialog, mimbar bebas di kampus, atau membuat pernyataan tampaknya masih memungkinkan dilakukan. Tetapi melakukan unjuk rasa dengan membawa SMPT agaknya masih riskan. Inilah yang dialami SM UIbeberapa waktu lalu ketika berdemonstrasi SDSB membawa nama SMPT. Pihakrektorat dengan tegas menyatakan tindakan itu bersalah karena tidak ada izin pimpinan untuk membawa nama almamater, meskipun yang dibawa adalah nama SM, bukan universitas secara keseluruhan. Untuk unjuk rasa membawa nama almamater harus ada izin, dan tentu saja tidak akan mendapat izin. SM UIakhirnya mendapat peringatan terakhir dari rektorat secara sepihak. Dalam argumentasi rektorat, cara-cara dan prosedur birokrasi lebih pentingketimbang substansi yang dibawakan. Sehingga bagi SMPT, perjuangan demokratisasi kampus agaknya akan mengalami masa-masa yang berat. Hal ini bisa dipahami karena membawa nama lembaga formal melawan lembaga pemerintah,misalnya, akan meminta konsekuensi politis tertentu. Bagi pemerintah iniadalah trauma dewan mahasiswa di tahun 1970-an. Gerakan yang lahir dari tubuh institusi formal, organisasi intra kampus, jauh lebih berbahaya ketimbang komite-komite aksi yang insidental dan sporadis.

Pada akhir tahun 1994 setelah Kongres IV mahasiswa UGM muncul DewanMahasiswa (DM) yang dianggap sebagai alternatif SMPT. Nama "DM" dipinjam dari Dewan Mahasiswa yang ada pada 1970-an, yang dibekukan tahun 1978. Upaya sosialisasi DM dilakukan di berbagai kota agar terwujud DM-DM di kota lain.Aktivis DM mengemukakan gagasan-gagasan dan kritik-kritik tajam terhadap SMPT yang sebagian besar teah disadari oleh aktivis SMPT ketika menerima SMPT. DM mendefinisikan dirinya sebagai antitesa terhadap kelemahan-kelemahan SMPT. Pertama, DM mengkleim mempunyai basis massa dan memang dikehendaki oleh mahasiswa, tidak seperti SMPT yang elitis dan menggantung ke atas. Kedua, lembaga DM mempunyai otonomi penuh, independensi yang tidak bisa dicampuri rektorat, tidak seperti SMPT yang bertanggungjawab pada rektorat. Hubungan DM bersifat sejajar dengan rektorat. Dan seterusnya.

Kepedulian masalah otonomi, independensi, dan berbagai kelemahan SMPT itusebenarnya juga merupakan kepedulian aktivis-aktivis SMPT. Di kalangan SMPT, perjuangan untuk memperbaiki diri yang berhubungan dengan kelemahan itutetap ada. Persoalannya apakah DM menjadi alternatif? Saya justru melihatkehadiran DM dalam situasi sekarang malah memecah belah mahasiswa dan tidakstrate gis. DM harus berhadapan dengan aktivis-aktivis SMPT yang sebetulnya mempunyai concern yang sama. Polarisasi persoalan lembaga akhirnya mengarah pada perbedaan ideologi perjuangan. Harus diakui, mayoritas aktivis SMPT di Indonesia adalah aktivis mahasiswa Islam. Lucunya, aktivis DM sebelumnya juga duduk di SMPT dan menerima SMPT itu. DM ternyata tidak diterima mayoritas mahasiswa. Karenanya DM juga menjadi lembaga elitis yang menjadi tempat bermain elit-elit aktivisnya.

Beberapa gagasan DM yang patut didukung adalah semangatnya untuk melakukanperubahan. Tetapi, menurut saya, koreksi terhadap SK Mendikbud No.0457/U/1990 seharusnya dilakukan oleh SMPT sebagai badan yang telah diakui.Agenda yang perlu dilakukan SMPT adalah demokratisasi kampus antara laindalam bentuk sharing administration. Segala keputusan universitas yangmenyangkut kepentingan mahasiswa harus mengikutsertakan sikap dan pandanganmahasiswa. Karena mahasiswa adalah bagian paling vital dalam universitas maka mahasiswa perlu diminta pendapatnya karena itu adalah hak mahasiswa. Mahasiswa juga berhak ikut menentukan dekan dan rektor, biaya SPP,pengelolaan kampus seperti asrama mahasiswa, dan seterusnya. Kesejahteraan mahasiswa adalah kunci program SMPT selain pengabdian masyarakat.

Menaikkan Posisi Tawar

Dalam posisi tawar mahasiswa yang lemah dewasa ini, belum saatnya menentukan partner politik atau memutuskan pilihan-pilihan grand design politik tertentu. Gerakan mahasiswa sekarang belum lagi menjadi agent of socialchange, sebaliknya menjadi gerakan peripherial, pinggiran. Agenda yang diperlukan adalah penyatuan kelompok-kelompok pinggiran mahasiswa dalamsuatu konsolidasi secara nasional.Hal ini dibutuhkan untuk pengembalian posisi tawar yang menyurut. Karenanya, dalam posisi tawar yang lemah, agendagerakan mahasiswa mesti berpihak memilih misi transformatif dan misi korektif. Misi transformatif menekankan pada gerakan penyadaran sosial politik dan penularan gagasan-gagasan demokrasi dan hak-hak azasi manusia. Sedangkan misi korektif menitikberatkan pada koreksi berbagai kebijakan atau sikap dan tindakan yang tidak menguntungkan rakyat banyak.

Diangkatnya isu-isu lokal populis dengan harapan dapat menjadi isu nasional nampaknya masih bisa diandalkan. Pilihan isu-isu mikro memang sesuai dengankondisi gerakan mahasiswa yang lemah. Dalam tahap ini diharapkan terjadi konsolidasi secara bertahap untuk mengembalikan nafas gerakan mahasiswa yangtelah surut akibat depolitisasi kampus. Untuk merajut jaringan secara nasional itu paling tidak dibutuhkan beberapa prinsip. Pertama, perlunya semangat dialog tanpa apriori antarkelompok mahasiswa. Melalui dialog tanpa apriori dapat diketahui kekuatan dan kelemahan masing-masing pihak serta menghindari perasaan curiga atau rasa permusuhan akibat berbedanya pendekatan gerakan. Kedua, kedewasaan berpolitik antaraktivis yang berbeda ideologi dan pendekatan gerakan. Ketiga, konsolidasi berjalan bertahap dan berkesinambungan melalui isu-isu tertentu dengan target "jangka panjang," sehingga terhindar situasi gerakan yang prematur.

Fadli Zon, Mahasiswa Program Studi Rusia UI, aktivis, wartawan.

Format Gerakan Mahasiswa Pasca Reformasi

http://www.habibie.net/2001/Indonesia/
activities/other/2001/dil/malang_okt30.html


Malang, 30 Oktober 2000

Salah satu peran yang sangat penting dalam proses perubahan politik di Indonesia adalah peran mahasiswa dengan gerakan mahasiswanya. Perjalanan panjang Gerakan mahasiswa mencapai puncaknya pada mei 1998 dengan indikasi turunnya kekuatan otoriter dibawah kepemimpinan Soeharto.

Keberhasilan yang mengesankan ini tampaknya tidak dibarengi oleh kesiapan jangka panjang gerakan mahasiswa. Sejumlah pihak menganggap turunnya Soeharto pada Mei 1998 sebenarnya diluar prediksi semula. Soeharto terlalu cepat turun sementara konsolidasi gerakan mahasiswa sebenarnya masih amburadul.

Pasca reformasi 1998 tampak terlihat bagaimana masih amburadulnya konsolidasi gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa tahap selanjutnya mengalami krisis identitas. Perbedaan visi yang muncul pada gerakan mahasiswa seringkali mengarah pada persoalan friksi-friksi yang sifatnya teknis. Kenyataan demikian menyebabkan friksi-friksi gerakan mahasiswa kehilangan arah dan bentuk.

Kehilangan arah dan bentuk format gerakan ini menyebabkan sejumlah gerakan mahasiswa harus melakukan konsolidasi internal organisasi. Konsolidasi internal ini sebagai upaya untuk mencariu format baru gerakan mahasiswa dalam konstalasi politik yang baru pula. Disamping itu konsolidasi internal ditujukan agar gerakan mahasiwa harus lebih intropeksi diri terhadap apa yang dilakukan. Upaya konsolidasi internal ini bukan berarti menegasikan dinamika politik sekitar. Tetapi konsolidasi internal ini agar lebih tepat baik secara strategis dan taktis untuk melakukan gerakan kedepan.

Pada awal reformasi terjadi konsolidasi massif melawan simbol-simbol kekeuasaan otoriter yaitu Soeharto. Perkembangan selanjutnya, gerakan mahasiswa lebih disibukkan oleh kondisi internal organisasi, tanpa melihat nilai-nilai apa yang telah digulirkan pada awal-awal reformasi yaitu untuk melakukan perubahan yang sangat mendasar yang dihadapi oleh rakyat. Artinya disini ada satu otokritik bagi elemen gerakan mahasiswa yaitu penyebaran-penyebaran yang dilakukan bukan pada masifikasi gerakan. Gerakan Mahasiswa tidak menjadi sebuah inklusifitas gerak tetapi menjadi eklusifitas gerak.

Kondisi ini terjadi karena mahasiswa tidak mempunyai konsistensi orientasi dari kondisi otoriter ke kondisi leberalisme politik. Seharusnya mahasiswa harus terus konsisten dengan orientasinya bahwa saat ini kalau dalam tataran opini tidak sampai muncul dalam konstalasi politik bukan berarti gerakan mahasiswa harus mengendap, akan tetapi ditengah pengendapan itu harus ada konsolidasi ditingkatan grasroot yaitu konsolidasi masyarakat sipil yang solid.
Agenda gerakan mahasiswa kedepan adalah ruang gerak mahasiswa harus lebih reaktif dalam mensikapi kondisi sosial masyarakat. Mahasiswa tidak perlu terjebak dalam konstalasi politik nasional sementara ia harus kehilangan jati dirinya sebagai mahasiswa. Perjuangan kedepan adalah bagaimana membangun kekuatan sosial masyarakat dengan melakukan kerja bareng bersama-sama rakyat. Hal ini menginggat bahwa salah satu hal yang menyebabkan terpecahnya konsolidasi gerakan mahasiswa adalah terjebak dalam arus politik nasional yang sebenarnya jauh dari kegiatan mahasiswa. Untuk itu salah satu perekat dari keberlanjutan gerakan mahasiswa adalah membangun kekuatan bersama-sama rakyat.

Penulis: unidentified

Analisis singkat sejarah gerakan mahasiswa Indonesia 1966-2001

http://www.sosialista.org/081801_09_pelopor.html

PELOPOR DAN PENGAWAL REVOLUSI DEMOKRASI:GERAKAN MAHASISWA SEBAGAI GERAKAN POLITIK NILAI
oleh : M. Fadjroel Rahman

DUA TAHAP REVOLUSI DEMOKRASI DAN PERAN OPOSISI ADHOC

Puncak revolusi mei 1998 adalah penggulingan Jenderal Besar (purn) Soeharto, didahului oleh pendudukan gedung DPR/MPR oleh mahasiswa Indonesia. Namun, revolusi mei 1998 hanyalah awal dari tahap pertama (first strage) revolusi demokrasi yang dipelopori gerakan mahasiswa. Tahap pertama revolusi demokrasi ini merupakan tahap pembongkaran kesadaran massa dan mahasiswa terhadap struktur ekonomi, politik, sosial dan budaya yang menindas atau eksploitatif. Proses pembentukkan tahap pertama revolusi demokrasi ini berlangsung sepanjang sejarah rezim Orde baru (ditandai sejumlah "puncak" perlawanan gerakan mahasiswa 1974, 1987,1989, dan 1998). Peran oposisi adhoc gerakan mahasiswa merupakan peran historis yang dipaksakan secara struktural oleh rezim Orde baru yang menjalankan satu jenis faasisme baru yaitu fasisme pembangunan (developmental fascism). Peran ini menjadi permanen sepanjang sejarah rezim Orde baru karena diberangusnya semua kekuatan oposisi formal (dalam kondisi demokrasi merupakan peran partai politik) dan ditundukkannya masuarakat sipil secara korporatis-fasistis, maupun melalui kekerasan terbuka.

Peran oposisi adhoc ini kembali dijalankan gerakan mahasiswa dibawah rezim Abdurrahman Wahid karena; Pertama: agenda reformasi total tidak dilaksanakan oleh semua lembaga politik baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif; kedua: tidak ada satupun partai politik yang menegaskan kekuatan politik oposisional dan memperjuangkan pelaksanaan agenda reformasi total tanpa kompromi politik dengan rezim Orde baru; ketiga: semua partai politik peserta pemilu 1999 (48 parpol) adalah legitimator UU pemilu yang cacat demokrasi karena mensyahkan keberadaan TNI/POLRI di legislatif (DPR/MPR, DPRD I dan DPRD II) dan keikutsertaan partai Golongan Karya dalam pemilu tanpa pertanggungjawaban hukum terhadap kejahatan politik, ekonomi dan HAM sepanjang 32 tahun rezim Orde baru. Dengan demikian semua partai politik berkhianat terhadap agenda reformasi total dan revolusi demokrasi, karena menjadi kolaborator politik rezim Orde baru .

Tahap pertama revolusi demokrasi ini berawal pada tergulingnya Jenderal Besar (purn) Soeharto da berakhir pada pelaksanaan seluruh agenda reformasi total. Bila seluruh agenda reformasi total dijalankan maka terbentuklah demarkasi politik demokrasi/reformasi total terhadap politik anti-demokrasi/anti reformasi total. Oleh karena agenda reformasi total belum dijalankan hingga rezim Abdurrahman Wahid sekarang, maka gerakan mahasiswapun terus menerus menjalankan oposisi adhoc-nya. Dapat dicatat dengan sejumlah "puncak lain" selain Mei 1998 (pendudukan DPR/MPR dan penggulingan Soeharto), November 1998 (Semanggi I, penolakan terhadap SI MPR), September 1999 (Semanggi II, Penolakan terhadap UU Penanggulangan Keadaan Bahaya), Oktober 1999 (Penolakan terhadap Habibie dan Wiranto), Januari 2001 hingga sekarang (tuntutan terhadap penurunan Abdurrahman Wahid serta pembubaran dan pengadilan Partai Golkar).

Dalam skala waktu,tidak dapat ditetapkan kapan tahap pertama revolusi demokrasi atau pelaksanaan agenda reformasi total berakhir. Bukan tidak mungkin, bahkan rezim berikutnyapun yang berasal dari pemilu 1999 yang cacat demokrasi, bila Abdurrahman Wahid mengundurkan diri, tidak akan mampu dan mau menyelesaikan tahap pertama revolusi demokrasi tersebut. Tetapi secara teoritis, tahap kedua (second stage) dari revolusi demokrasi dapat diawali bila semua agenda reformasi total sudah dijalankan. Tahap kedua ini merupakan tahap pembongkaran struktur ekonomi, politik, sosial dan budaya yang menindas atau eksploitatif. Pada tahap keduainilah pemantapan dan pengembangan demokrasi dijalankan melalui proses konsolidasi dan pendalaman demokrasi.

GERAKAN POLITIK NILAI VERSUS GERAKAN POLITIK KEKUASAAN

Apakah gerakan mahasiswa bebas kepentingan politik? Tentu tidak, karena kepentingan pertama dan terutama yang diperjuangkannya adalah nilai-nilai (values) atau sistem nilai (values system) yang sifatnya universal seperti keadilan sosial, kebebasan, kemanusiaan, demokrasi dan solidaritas kepada rakyat yang tertindas. Karena itu oposisi adhoc gerakan mahasiswa di Indonesia merupakan gerakan politik nilai (values political movement) dan bukan gerakan politik kekuasaan (power political movement) yang merupakan fungsi dasar partai politik.Nilai-nilai universal tersebut juga hidup dalam konteks kesejarahan suatu gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa di Indonesia menterjemahkan nilai-nilai tersebut dalam konteks politik kontemporer Indonesia dalam bentuk agenda reformasi total sekarang ini berupa:
1. Amandemen UUD '45 menjadi konstitusi demokrasi,
2. Pencabutan Dwifungsi ABRI (TNI/Polri) atau penghapusan peran politik, bisnis dan teritorial TNI/Polri.
3. Pengadilan pelaku KKN sepanjang pemerintahan Soeharto, Habibie dan Abdurrahman Wahid,
4. Pengadilan pelaku kejahatan HAM sepanjang pemerintahan Soeharto, Habibie dan Abdurrahman Wahid.
5. desentralisasi atau otonomi daerah seluas-luasnya,
6. reformasi perburuhan dan pertanian.

Dibandingkan dengan gerakan politik kekuasaan yang menjadi ciri khas partai politik, dimana penetapan agenda dan target politik maupun pemilahan lawan dan kawan politik semata-mata sebagai urusan taktis dan strategis untuk memperkuat dan mengukuhkan posisi politiknya dalam percaturan kekuasaan sekarang dan di masa depan. Maka gerakan politik nilai yang menjadi ciri khas gerakan mahasiswa walaupun melakukan penetapan agenda dan target politik maupun pemilahan lawan dan kawan politik, tetapi samasekali tidak untuk memperkuat dan mengukuhkan posisi politiknya dalam percaturan kekuasaan. Contohnya, ketika gerakan mahasiswa menolak pemilu 1999 dimasa rezim Habibie, lebih disebabkan oleh perhitungan bahwa pemilu tersebut cacat demokrasi dan mnegkhianati agenda reformasi total. Tetapi, untuk 48 parpol peserta pemilu 1999, pemilu tersebut merupakan peluang untuk meraih dan mengukuhkan kekauasaan politik atau sekedar memperoleh legitimasi hukum untuk keberadaan partainya, bahkan sekedar memperoleh sedikit jabatan dan sejumput uang.

GERAKAN POLITIK NILAI UNTUK MENUNTASKAN REVOLUSI DEMOKRASI

Karena berdiri sebagai gerakan politik nilai, maka gerakan mahasiswa angkatan 2001 sekarang pun dengan luwes menetapkan sejumlah agenda dan target politik baru yang menghindarkan mereka dari jebakan dan manipulasi kepentingan elite maupun partai politik tertentu. Melalui pertarungan gagasan yang cukup tajam antar kelompok dan gerakan mahasiswa, sekarang secara praktis semua elemen gerakan mahasiswa "bersatu lagi" sebagai gerakan politik nilai, membela dan mengawal revolusi demokrasi dengan memperjuangkan agenda reformasi total yang mereka cita-citakan bahu membahu. Kini, kita semua menyaksikan sinergi gagasan dan kekuatan gerakan mahasiswa "bersatu" memperjuangkan agenda reformasi total atau enam visi reformasi ditambah dengan agenda menurunkan Abdurrahman Wahid, menolak kenaikan harga BBM dan sembako dan menjadikan KKN orde baru -partai Golkar sebagai musuh bersama (Common Enemy).


Disarikan dari berbagai sumber

Kekerasan dalam Gerakan Mahasiswa: Demonstran/Pemberang?

http://www.bubu.com/kampus/maret99/fokus3.htm


Banyak kritik, gerakan mahasiswa belakangan ini dianggap tak lagi murni, dan sudah mulai memaksakan kehendak. Terutama karena merekapun mulai mempraktikkan kekerasan sebagai reaksi balik atas sikap represif aparat keamanan yang diterimanya. Kok bisa ya? Bukankah dulunya mereka semua adalah "anak-anak manis" yang berhasil didepolitisir oleh Orde Baru?

Dalam banyak pemberitaan pers, berbagai kesempatan perbincangan, atau sekedar nguping pembicaraan orang di bus, halte, atau mana saja, kemarin-kemarin ini memang sempat menguat kecemasan bercampur kecewa orang kebanyakan soal aksi-aksi mahasiswa belakangan ini. Keluhan mereka rata-rata sama: demonstrasi mahasiswa = macet di mana-mana, lalu soal turut beringasnya aksi-aksi mahasiswa dalam menyikapi perilaku represif aparat keamanan. Bahkan keluhan-keluhan ini kemudian bisa berkembang lebih parah lagi dan bermetamorfosis menjadi kecurigaan atas kemurnian motif dari setiap aksi mahasiswa, yang memang lebih banyak digelar dengan memenuhi-sesaki jalanan.

Untuk keluhan yang pertama –tanpa berpretensi mewakili suara seluruh kawan-kawan mahasiswa yang menggantungkan kerinduannya di jalan raya— harap dimaafkan. (Barangkali –mirip yang dilakukan para pekerja galian telepon atau ledeng— besok-besok setiap kali diadakan demonstrasi, mahasiswa harus memasang plang: "Maaf perjalanan anda terganggu. Anda harap mengambil jalan lain. Indonesia masih dalam perbaikan") Menduduki jalan raya dengan massa dalam jumlah besar memang sejak lama lazim dipakai untuk memperagakan protes kepada para penguasa yang tuli hatinya, beku nuraninya, dan membenci perubahan. Tujuannya jelas, sekali lagi peragaan. Unjuk rasa –bukan pertama-tama unjuk kekuataan— bahwa ada suara-suara ketidakpuasan yang gagal diserap oleh dinding-dinding gedung parlemen dan para penghuninya. Soal efektivitas cara ini, semua orang boleh berargumen dengan bukti masing-masing. Tapi cara ini memang sudah terlanjur menjadi tradisi. Karenanya, barangkali memang perlu ada proses pencanggihan metode aksi di masa mendatang, tentunya dengan tidak mengabaikan urgensi untuk mengakomodasi berbagai dukungan dan kritik dari masyarakat.

Memang, masih ada banyak cara menyatakan protes. Sebagai contoh, dalam bukunya The Politics of Nonviolent Action (1980), Gene Sharp mencatat ada sekitar 198 metode aksi nirkekerasan yang berhasil dihimpun dari sejarah gerakan politik dari berbagai belahan dunia. Itu yang tertulis, masih banyak metode yang tidak tertulis melekat dalam budaya masyarakat yang belum ditemukan. Juga, dari ke-198 aksi itu kemungkinan bisa berkembang lebih banyak tergantung kreativitas manusia dalam mengembangkannya sesuai dengan rezim politik yang dihadapinya. Dengan bukunya itu, Sharp -- yang pernah dijuluki sebagai ''Machiavelli nirkekerasan'' itu -- menolak anggapan umum bahwa metode nirkekerasan Gandhi tidak taktis untuk gerakan perubahan praktis untuk gerakan perubahan politik. Sebaliknya, kajian historisnya menunjukkan bahwa umat manusia dengan cara mereka masing-masing telah melakukan aksi nirkekerasan ketika ditindas oleh rezim berkuasa. Memang ada sebagian yang gagal mencapai perubahan politik cepat, tetapi sebagian besar berhasil mengesankan.
Dari sekian banyak macam metode aksi itu, Sharp membaginya ke dalam tiga bagian besar menurut derajat intensitasnya: (1) protes, demonstrasi, dan persuasi; (2) nonkooperasi ekonomi, sosial, politik; dan (3) intervensi tanpa kekerasan. Ketika dengan protes, demonstrasi, dan persuasi, sudah berhasil, metode nonkooperasi tidak dipergunakan. Metode intervensi dipakai hanya sebagai senjata pamungkas, ketika protes, persuasi, nonkooperasi, tidak berhasil.
Metode pertama adalah penyampaian tuntutan dengan jalan komunikasi publik, agar penguasa menanggapinya. Komunikasi tidak terbatas verbal, tetapi juga simbolik dan interaktif. Terdapat sekitar 54 metode termasuk di sini, di antaranya pernyataan publik, deklarasi, petisi, slogan, karikatur, poster, leflet, lobi, simbol pakaian, warna bendera, gambar seseorang sebagai protes, doa protes, drama, musik, parade, upacara kematian korban represi, pengiriman deputi perwakilan, duduk di jalan, walk-out, dan sebagainya.

Metode nonkooperasi adalah aksi nirkekerasan dengan cara tidak mau kerjasama dengan rezim atau memutus hubungan dengan rezim sehingga kepentingan rezim terganggu. Sekitar 103 macam metode termasuk di sini. Di antaranya, boikot, penundaan dukungan, mogok, keluar dari lembaga tertentu, tinggal di rumah saja, pergi hijrah, boikot ekonomi, embargo, sanksi ekonomi, menolak mendukung, menolak membantu, memblok komando dan informasi, menolak rapat, menolak dialog, dan sebagainya.

Metode intervensi diambil ketika kedua metode di atas tidak berjalan. Ia sebagai cara terakhir karena di dalamnya memiliki risiko tinggi. Metode ini adalah menekan secara psikologis dan fisik tanpa kekerasan kepada pihak lawan atau penguasa. Terdapat sekitar 41 macam aksi masuk di sini. Di antaranya ialah puasa, mempuasai hari-hari jatuhnya korban, mogok makan, menduduki tempat strategis, membuat alternatif organisasi massa, blokade tempat simbol penindasan, membuka kedok agen rahasia, membebaskan tahanan politik, memutus hubungan penguasa dengan pendukungnya, memojokkan posisi penguasa dari pergaulan internasional, dan sebagainya.

Sebagian besar aksi di atas telah dipraktikkan mahasiswa dalam banyak aksinya sepanjang tahun 1998 dengan hasil yang cukup gemilang. Prinsip dari semua aksi itu adalah nirkekerasan. Aksi demikian bisa berhasil efektif tanpa pengorbanan massa yang besar. Namun, aksi demikian akan efektif bila dilakukan secara konsisten, keberhasilan yang satu mendukung lainnya. Aksi nirkekerasan secara konsisten dapat meruntuhkan struktur bangunan kekuasaan, karena kekuasaan pada dasarnya bersandar pada hubungan kooperatif antara penguasa dan yang dikuasai, yaitu rakyat. Bila hubungan itu goyah dan retak, maka penguasa akan kehilangan pijakan. Semua jenis aksi di atas sedikit banyak menggoyahkan hubungan penguasa dan rakyatnya. Penguasa yang cerdas biasanya sangat tahu bahaya ini. Mereka akan segera merespons munculnya aksi dengan segera, bahkan sejak metode pertama muncul, kalau tidak ingin kehilangan basis kekuasaannya.

Sementara untuk keluhan yang kedua, jawabannya ternyata lebih sulit, dan sepertinya memang tidak cukup dengan sebuah permintaan maaf atau permakluman. Kalau dikatakan mahasiswa tidak mengerti politik tanpa kekerasan, itu tidak benar. Sebagian besar, kalau tidak dikatakan semua, protes mahasiswa selama ini sebenarnya demonstrasi tanpa kekerasan. Mahasiswa baru mengambil cara kekerasan, itu pun sangat minim seperti melempar dengan batu, sebatas untuk melindungi diri dari aparat yang brutal. Juga, demonstrasi mahasiswa selama Reformasi Damai antara Februari-Mei 1998 lalu yang berhasil menurunkan Soeharto hampir semua bersifat damai, tanpa kekerasan. Mengapa mahasiswa di Jakarta akhir-akhir ini tiba-tiba mengambil cara kekerasan? Melihat tindakan mahasiswa yang bersifat menyerang (offensive), mahasiswa kelihatan telah kehilangan daya kreasi dan terperangkap dalam cara kekerasan. Kawab-kawan mahasiswa sepertinya telah memasuki wilayah kekerasan. Mahasiswa telah menuntut perubahan politik dengan pemaksaan kehendak dengan kekuatan fisik (coercion by force) yang bisa mengerasi, melukai, bahkan menelan korban nyawa, mungkin nyawa mahasiswa sendiri, nyawa aparat, atau pihak lain.

Sejumlah suara kritik bahkan sudah mencemaskannya begitu jauh hingga ada yang sampai membayangkan bisa jadi saja nanti akan berkembang faksi-faksi garis keras dari kalangan mahasiswa yang berkembang mirip Brigade Merah di Italia, Tentara Merah di Jepang, atau kelompok-kelompok teroris ternama lainnya yang memang banyak beranggotakan para mantan aktivis mahasiswa yang sudah terlanjut frustasi dan memilih kekerasan dan terorisme sebagai sarana perjuangannya. Kalau sekarang baru pentung versus pentungan, gas air mata dan pelor versus lemparan batu ala intifadah, jangan-jangan di kemudian hari berkembang menjadi bom bunuh diri, atau modus-modus lain yang tak kalah menyeramkan. Wow!
Kalau mau disebut frustasi –sama seperti motivasi yang melatarbelakangi para anggota kelompok-kelompok penebar teror yang telah disebut di atas— barangkali memang ada sebagian kawan mahasiswa yang mengalaminya, tentunya dalam kadar dan tingkatan yang berbeda. Radikalisasi di mana-mana memang muncul dan berakar kuat dari menguatnya ketidakpuasan. Namun hal ini tidak bisa menjelaskan radikalisasi tiban –menjadi radikal dalam sekonyong-konyong— yang terjadi pada sekelompok besar mahasiswa Jakarta? Bukankah mereka terhitung "lebih miskin" tradisi aksi ketimbang banyak rekan mahasiswa di kota-kota "biang demo" seperti Bandung, Yogya, Semarang, Malang, Makassar, dan lain-lainnya?
Sejumlah analisis barangkali bisa kita pinjam untuk menjelasnya. Tapi sebagian besar bersepakat bahwa ada ketidakpuasan yang akumulatif, terus bertimbun. Kemarahan dan kekecewaan yang menggunung seperti itu memang selalu menjadi "lahan persemaian" yang subur bagi pemikiran-pemikiran radikal. Nah, hal itu makin kondusif karena "diberi pupuk", ada situasi yang secara obyektif mendukungnya, yakni berlarut-larutnya krisis ekonomi yang membuahkan kehancuran kredibilitas pemerintah di hadapan rakyatnya. Hasilnya, muncul sebuah kesadaran baru yang fenomenal, sebuah kesadaran to do something. Nah, begitu kesadaran ini hampir mematang, secara terus menerus dibenturkan oleh kenyataan empirik bahwa suatu perubahan senantiasa bukanlah sebuah proses tawar menawar yang berjalan mulus. Ada konflik keras di sana, ada korban yang jatuh karenanya. Di saat seperti itu, kekesalan yang memuncak akibat terlalu gemas menyaksikan perubahan yang diharapkannya tak kunjung terjadi, rasa frustasi mulai muncul. Cara-cara lama menegoisasikan kehendak pun mulai dikaji ulang. Sebagian mereka yang belum sampai pada kepenuhan pemahaman bahwa perjuangannya itu adalah sebuah "pekerjaan jangka panjang", tidak segan-segan memangkas akal sehatnya. Tanpa pikir panjang, mereka merasa perlu mengelaborasi lebih lanjut prinsip-prinsip nirkekerasan –tanpa menutup sikap pembelaan diri tentunya—dengan mencari jalan lain yang bisa lebih efektif, sekalipun sedikit banyak hal itu mengandung prinsip kekerasan yang dikecamnya sendiri. Situasi ini diperparah oleh belum terkonsolidasinya secara baik kesadaran massa. Sehingga setiap aksi yang dilakukan selalu beresiko bakal dimuati oleh banyak "turis-turis politik", sejumlah mahasiswa yang ikut aksi tanpa didukung oleh kematangan refleksi atas aksinya dan hanya mengalaminya sebagai sebuah petualangan yang memacu adrenalinnya –sebuah kebutuhan eksistensial yang memang melekat dengan karakter kemudaannya.
Penjelasan di atas dapat dengan mudah memperoleh pembenaran, cukup dengan mencermati betapa cairnya ikatan politis –apalagi ideologis— massa yang selama digelar. Harap maklum, setelah sekian lama didepolitisasi, sebagian besar kawan terlanjur menjadi mahasiswa yang mahal dan manja. Kehadiran sebagian mereka sebagai "penggembira" dalam setiap aksi sesungguhnya berbahaya –meskipun kuantitas mereka sangat signifikan untuk "menggentarkan" lawan. Dengan kesadaran politik yang masih sungguh cair, dan masih berkutat sebatas slogan, sulit bagi mereka untuk bisa menempatkan dirinya sebagai massa aksi.
Pantas dipertanyakan bila sebagian aktivis menilai bahwa dialektika pemikiran tentang paradigma gerakan telah selesai, seolah-olah telah terbangun sebuah ideologi gerakan yang terlalu suci untuk selalu direevaluasi. Kita bisa bersepakat pada perubahan politik sebagai muara dari pergerakan ini, tapi visi mereka yang menempatkan mobilisasi untuk melakukan perlawanan terbuka dan frontal justru akan berhadapan dengan tembok yang terlalu keras untuk bisa ditembus saat sebagian besar anggota masyarakat dan kelompok-kelompok strategis lainnya belum siap.

Ini jelas bukan penghakiman. Siapapun boleh saja setuju, atau berseberangan dengan analisis ini. Pahamilah, deras bergulirnya dinamika gerakan mahasiswa selalu membuka kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan internal, ataupun pergeseran visi dalam memahami gerakan kita ini. Satu-satunya yang tak bakal berubah adalah kesepakatan kita bersama: kita akan terus bergerak sampai perubahan yang kita rindukan bakal terjelang. Setiap penindasan senantiasa akan mendatangkan perlawanan. Sepakat?

Andreas Ambar Purwanto

Friday, April 07, 2006

Teologi Pembebasan dan Gerakan Mahasiswa

www.geocities.com/frontnasional/
teologi_pembebasan_dan_gerakan_m.htm


Oleh Herwindo

Gerakan mahasiswa pada era rezim diktator Soeharto hingga saat ini, tidak sedikit pula yang memberikan label bahwa gerakan liberal mulai mengembang. Stigmatisasi kaum radikal mulai menjamur pada kalangan bawah (masyarakat biasa) dan menebarkan wahyu pemberontakan, juga hal yang sempat menjadi mitos terbesar dalam setiap gerakan mahasiswa. Namun tidak kalah banyaknya opini, bahwa mahasiswa Indonesia yang radikal dan progressiv dari berbagai lingkungan sosial serta lintas kultur mulai memainkan perannya, fungsi sosialnya melalui gerakan-gerakan pembebasan.
Linkungan sosial di Indonesia mayoritas bangsa Indonesia yang religiusitasnya tinggi, menjadikan gerakan mahasiswa dengan misi pembebasannya dari penindasan totaliter Soeharto mendapatkan stereotip positif. Khususnya bagi umat Islam. Terideologisasi oleh teologi pembebasan. Tetapi di sini tidak berupaya untuk meng-klaim, bahwa gerakan penggusuran simbol orde baru (Soeharto) yang represif itu merupakan hasil kesadaran umat Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia.
Namun bila berbicara formasi sosial yang menindas dari rezim Soeharto, berekses lebih pada pemeluk Islam dan membentuk bola salju atas pegerakan pembebasan yang digulirkan oleh intelektual muda Indonesia merupakan bentuk geneologis dari violence yang dilakukan negara (state). Adanya sosial gap, kaya-miskin dan tumbuhnya konflik horisontal adalah, anak kandung dari kebijakan pemerintah maupun negara yang timpang. Tidak adanya pemerataan kesejahteraan sosial.
Kemiskinan absolut yang bersumber pada minimnya pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan relatif yang merupakan akibat pertumbuhan ekonomi, menjadi abstraksi sosial yang nyata di Indonesia. Melalui “ideologi” pembangunan nasional, rezim Soeharto membangun kemiskinan dan krisis multi dimensional hingga sekarang. Kemiskinan adalah, sesuatu bisa (racun) disatu sisi dan memberi madu pada sisi lain.
Monopoli, kolusi, korupsi dan nepotisme sedari sang diktator Soeharto sampai saat ini merupakan komoditas yang surplus. Relasinya dengan tekstual teologi pembebasan yang bersinggungan dengan wacana agama sangat jelas yaitu, pembebasan aspek atau dimensi sosial dari teologi pembebasan melarang keras adanya eksploitasi dan manipulasi diberbagai bidang, baik secara fisik maupun psikis oleh dan/atau siapapun.
Bentangan relevansi dalam tulisan ini diberikan dapatlah disisipkan contoh seperti, dalam bidang ekonomi praktek riba dan monopoli yang mengedepankan nilai lebih dilarang keras (Qs. Al Baqarah 275-278). Segala bentuk zakat, infaq dan sedekah merupakan sugesti yang baik dan benar agar manusia tidak teralienasi atas dirinya dari lingkungan sekitarnya dan tidak mengadakan penimbunan harta yang mengakibatkan surplus yang pada akhirnya secara langsung mengeksploitasi manusia lainnya.
Hal lainnya yang dapat dijadikan pijakan identifikasi nilai-nilai teologi pembebasan yaitu, manusia memiliki hak untuk hidup, manusia memiliki hak untuk bereproduksi, manusia memiliki hak untuk berpikir bebas dan manusia memiliki hak untuk mendapatkan keadilan. Empat pointer ini merupakan nilai-nilai teologi pembebasan dalam ajaran agama Islam yang mungkin juga merupakan ajaran agama-agama lain di dunia.
Ada atau tidaknya korelasi antara pergerakan kaum intelektual muda atau mahasiswa dengan teologi pembebasan masih perlu dicari validitasnya dan kebenarannya. Namun jikalau berbicara humanitas, yang lekat juga dengan ajaran agama yang menjadi nilai-nilai teologi pembebasan dari pergerakan pembebasan untuk menciptakan perubahan sosial, yang dilancarkan mahasiswa bersama rakyat mungkin bukanlah hubungan yang insidental pula.
Intinya perubahan harus tetap ada, apapun alasannya dan seperti apa perubahan yang menjadi kebutuhan mahasiswa ? Perubahan yang mendasar, Revolusi Sosial !!!

Thursday, April 06, 2006

Buloggate II dan Progresivitas Gerakan Mahasiswa

Kompas, Senin, 15 april 2002

Ahmad Fuad Fanani

Perkembangan kasus dana nonbudgeter Bulog, sampai saat ini masih terus menarik untuk dicermati. Terlebih lagi pascaperistiwa penangguhan penahanan Akbar Tandjung oleh PN Jakarta Pusat hari Jumat.

Alasan dibebaskannya Akbar, menurut Humas PN Jakarta Pusat karena dia tidak lagi dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan bukti, ataupun mengulangi tindakan kejahatan lagi. Maka, keluarlah SK No 449.Pid.B/2002/PN Jak-Pus, yang menurut mereka berawal dari jaminan dari istri beliau. (Kompas, 7/4/2002)

Seperti sudah banyak diduga, penangguhan penahanan tersebut pasti menimbulkan banyak pertanyaan dan kontroversi. Kontroversi itu paling tidak, bisa dilihat dari kenyataan tidak dibebaskannya tahanan lain pada kasus yang sama, yaitu Rahardi Ramelan, Wilfred Simatupang, dan Dadang Sukandar. Bahkan, yang lebih aneh lagi, Rahardi Ramelan justru diperpanjang masa penahanannya 60 hari, dengan dalih untuk mempermudah pengusutan dan penanganan kasus tersebut.

Sebetulnya, dari fakta yang ada, tampak dari awal bahwa penanganan kasus ini jauh berbeda dengan kasus terdahulu (Buloggate I). Bila dahulu proses perjalanannya di DPR tidak bertele-tele, maka sekarang tampaknya sedikit terulur-ulur, tidak ada kekompakan, dan terjadi perubahan keputusan politik tiap detik.

Hal itu bisa terlihat tidak hanya di panggung politik saja, namun juga merambah pada penanganan hukum ataupun peliputan media yang tidak segegap-gempita masa lampau. Maksudnya, bila dahulu hampir semua media membangun wacana bahwa Gus Dur beserta kawan-kawannya harus diadili, maka yang tampak sekarang adalah seakan-akan terjadi politisasi pada kasus ini.

Meskipun publik akhirnya agak lega sedikit dengan ditahannya Akbar Tandjung pada 7 Maret 2002, tetapi itu tetap belum bisa memulihkan kepercayaan publik. (Kompas, 8/3/ 2002). Karena, sebagian besar dari mereka menganggap bahwa penahanan itu tak lebih dari sebuah sandiwara murahan dan gampang basi.

Apalagi, Akbar yang sudah jelas menjadi tersangka belum juga mau mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR. Jika ia tidak mau mundur dari Ketua Umum DPP Golkar, mungkin orang masih mau memaklumi, namun pada hal yang pertama tentu menimbulkan tanda tanya besar. Karena, persoalan moralitas politik dan keteladanan publik layak dipertimbangkan olehnya.

Fenomena gerakan mahasiswa

Pemerintahan Indonesia yang sedang berjalan di era transisi, agar tidak menyimpang ke otoritarianisme kembali, haruslah bergerak secara progresif, dinamis, dan kalau perlu revolusioner. Maka, penanganan atas penyelewengan dana Bulog ini haruslah diusut secara tuntas dan maksimal. Dalam hal ini, gerakan mahasiswa banyak diharapkan geraknya untuk memberikan pressure kepada pemerintah yang berjalan dengan lemah gemulai seperti saat sekarang. Namun, dalam menyikapi kasus Buloggate II, ironisnya gerakan mahasiswa mengidap penyakit yang tidak jauh berbeda dengan fenomena keadaan politik Indonesia di atas. Padahal, pada pemerintahan sebelumnya dan untuk kasus yang sama, gerakan mereka berjalan secara spektakuler, fenomenal, dan mengundang decak kagum sebagian rakyat Indonesia.

Bila kita amati gerakan mahasiswa 2001, setidaknya akan kita jumpai tiga warna gerakan berdasarkan pemetaan isu yang diusung dan diperjuangkan. (Tabloid Detak, Edisi Maret 2001)

Pertama, gerakan mahasiswa yang terkumpul dalam aliansi BEMI (Badan Eksekutif Mahasiswa Indonesia). Mereka terdiri dari PMII, Famred, Jarkot, Forkot, BEM PT Jawa Timur, serta sebagian gerakan kiri lainnya. Pada waktu itu, isu yang mereka perjuangkan adalah pembubaran Golkar, pengadilan Soeharto, dan desakan untuk percepatan pemilu. Dalam hal penurunan Gus Dur yang terlibat Buloggate I, mereka cenderung tidak larut serta bahkan terkesan membelanya.

Kedua, mahasiswa yang tergabung dalam BEMSI (Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia). Kelompok ini terdiri dari UI, ITB, Trisakti, UNJ, IPB, dan beberapa perguruan tinggi lainnya. Isu yang mereka usung dan perjuangkan adalah menuntut Gus Dur untuk turun, pembersihan KKN, pengadilan Soeharto, dan pelaksanaan enam agenda reformasi. Di antara beberapa elemen gerakan mahasiswa yang ada, merekalah yang paling gegap-gempita dan bersemangat untuk menurunkan Gus Dur.

Ketiga, kelompok yang tidak bergabung dengan mereka di atas dan berdiri membawa benderanya masing-masing. Mereka adalah KAMMI, HMI MPO, HMI DIPO, IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), Alfonso (Aliansi Lembaga Formal Seluruh Indonesia), Hammas, dan lain-lain. Kelompok ini menganggap bahwa Gus Dur hanyalah entry point dari seluruh desakan untuk menegakkan clean and good governance. Maka, yang lebih diperlukan adalah revolusi sistemik atas segala perangkat politik dan budaya Indonesia.

Beberapa pengelompokan gerakan mahasiswa berdasarkan tipologi gerakan diusung, sampai sekarang masih bisa kita jumpai. Setidaknya sekarang ini ada kelompok mahasiswa kanan, kiri, dan tengah yang tampak muncul di permukaan. (Ahmad Fuad Fanani, Republika, 16/3/2002). Namun, berbagai tipologi gerakan mahasiswa 2002 yang ada tersebut, dalam penyikapannya terhadap kasus Buloggate II, sangat jauh tertinggal dari gerakan mahasiswa 2001. Karena, sampai persidangan Akbar yang ketiga kalinya, hanya BEM UI yang bisa kita saksikan bersama-sama menuntut. Meskipun KAMMI melakukan demonstrasi juga, itu hanya terjadi di daerah-daerah. Malahan, sekarang ini KAMMI dan gerakan mahasiswa kanan lainnya seperti Hammas dan HMI MPO lebih menyukai dan merasa perlu untuk melakukan demonstrasi mengutuk penyerangan Israel atas Palestina.

Kemudian, gerakan mahasiswa yang sering diidentikkan radikal, revolusioner, dan garang dalam berunjuk rasa seperti PMII, Famred, Forkot, Jarkot, dan lain sebagainya juga terlihat diam dan tenteram melihat permainan politik dan hukum di balik kasus Buloggate II ini. Padahal, merekalah yang dahulu paling agresif mengutuk Orde Baru, menuntut pengadilan Soeharto, dan mendesak pembubaran Golkar. Namun, pada kasus yang merupakan momentum pembukaan kotak pandora atas tuntutannya di atas, mereka kurang terlihat pro-aktif untuk meresponsnya.

Lantas, ke mana pula perginya dan istirahatnya gerakan mahasiswa yang bertipologi tengah-tengah seperti IMM, HMI DIPO, PMKRI, GMNI, GMKI, dan sebagainya? Kenapa mereka belum melakukan demonstrasi mengutuk pembantaian negara Palestina dan tidak juga mendesak penuntasan kasus Buloggate II sebagai perwujudan visinya sebagai agent of social change and moral control? Padahal, peran kesejarahan dan visi transformasi mahasiswa yang harum sepanjang sejarah dalam menegakkan keadilan dan demokratisasi, banyak ditunggu masyarakat banyak yang sudah jengah terimpit oleh krisis dan ketidakpastian politik.

Tuntutan kesejarahan

Menurut M Hatta, pemuda yang di antaranya sebagian besar terdiri dari para mahasiswa adalah harapan bangsa dan pelopor dalam setiap perjuangan. Pernyataan itu bukanlah sekadar pujian atau isapan jempol belaka, tetapi sebuah fakta sejarah yang tidak bisa dimungkiri. Hal itu tampak terlihat pada gegap-gempita perjuangan para pemuda Indonesia yang berhimpun dalam Budi Oetomo pada 2 Mei 1908, para pemuda yang menggalang persatuan Indonesia lewat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Hatta dan kawan-kawannya di Belanda yang menyosialisasikan negara Indonesia, serta perjuangan Soekarno beserta angkatannya lewat pendirian PNI di Bandung yang bergerak memperjuangkan nasionalisme dan menolak hegemoni Belanda. Begitu juga, ketika persiapan proklamasi kemerdekaan, para pemuda Indonesia yang dipandegani Sukarni adalah mereka yang meyakinkan Soekarno dan Hatta untuk segera melaksanakan proklamasi itu. (Ben Anderson, Revoloesi Pemoeda, 1988)

Pernyataan Bung Hatta di atas relevan dengan keadaan sekarang, khususnya sebagai pemecut semangat kebangkitan dan progresivitas gerakan mahasiswa yang cenderung melemah. Karena, ketika partai politik sebagai organisasi politik resmi negara melemah fungsinya seperti saat ini, gerakan mahasiswalah yang dituntut untuk mengingatkan dan mendesak terus-menerus. Terlebih lagi partai politik Indonesia saat ini, tidak peka sama sekali terhadap isu-isu publik untuk pemberdayaan rakyat, pengentasan krisis, serta pencerdasan bangsa. Mereka lebih sibuk dengan isu-isu berdimensi aliran, uang, serta pembagian kekuasaan.

Oleh karena itu, tidak alasan lagi bagi gerakan mahasiswa untuk tidak bergerak dan menyatukan langkah dalam menegakkan kebebasan dan keadilan.

Pada dasarnya, gerakan mahasiswa merupakan sebuah gerakan budaya, karena ia memiliki kemandirian dan berdampak politik yang sangat luas. Oleh karena itu, mereka tidaklah boleh cepat puas dengan hasil yang dicapai. Gerakan mereka juga harus senantiasa menegakkan asas kebenaran politik dan pengungkapan kebenaran publik sekaligus. Maka, budaya Indonesia yang cenderung cepat puas dengan keadaan dan tidak peduli dengan perkembangan karena sibuk sendirian, tidaklah patut menjadi paradigma gerakan mahasiswa. (Yozar Anwar, Pergolakan Mahasiswa Abad ke-20, 1981)

Meskipun pemerintah, para politisi, anggota DPR, ataupun para eksekutif dan penguasa seperti tampak kita saksikan sehari-hari kurang berbudaya adiluhung, namun mahasiswa sebagai harapan bangsa terbesar tidaklah perlu terhinggapi virus tersebut. Terlebih lagi, budaya patron-client, malu, sungkan dengan senior, dan bermuka dua (munafik) yang banyak menjangkiti politisi dan sebagian masyarakat itu, bukanlah contoh yang bagus bagi para aktivis gerakan mahasiswa.

Agar gerakan mahasiswa menjadi progresif, dinamis, revolusioner, dan inklusif, menurut penulis, gerakan mahasiswa haruslah meniscayakan hal berikut ini.

Pertama, pro-aktif merespons keadaan dan teguh pendirian. Gerakan mahasiswa haruslah bersatu dalam visi penegakan keadilan dan penumpasan kemunafikan. Hal ini bisa dilakukan dengan saling memasok informasi untuk selanjutnya dilanjutkan pada penyusunan agenda aksi. Sedangkan teguh pendirian yang dimaksud di sini adalah gerakan mahasiswa haruslah bersifat independen dan tidak menjadi perpanjangan tangan para seniornya. Karena, hal ini biasanya hanya akan menimbulkan friksi di kalangan sendiri dan saling memperebutkan proyek demonstrasi.

Kedua, melakukan dialog transformatif-meminjam istilah Jurgen Habermas-untuk menciptakan masyarakat komunikatif yang demokratis. Bila selama ini gerakan intelektual cenderung elitis dan menggunakan bahasa yang mengawang, maka gerakan mahasiswa yang juga gerakan intelektual plus, haruslah mencerdaskan, mencerahkan, dan memberdayakan masyarakat yang selama ini banyak ditindas.

Ketiga, mendorong para aktivisnya untuk membentuk kapasitas intelektul yang memadai dan berjiwa intelektual organik-meminjam istilah Antonio Gramsci.

Hal ini berguna agar para aktivis gerakan tidak hanya sibuk di lapangan, kurang melakukan refleksi, dan cenderung bergerak secara pragmatis. Bila mereka mampu memiliki kapasitas intelektual yang tinggi, tentu saja akan berguna pada penyusunan strategi dan pengajuan alternatif konsep penyelesaian masalah yang dikritik secara lebih sistematis dan memadai.

Terakhir, ketidakpastian penanganan Buloggate II dan kelambanan pemerintah dalam melaksanakan agenda reformasi untuk menegakkan demokrasi adalah sebuah momentum yang baik untuk membangkitkan kembali progresivitas gerakan mahasiswa. Karena, kesempatan ini tidaklah bisa datang untuk kedua kali. Di samping, bila gerakan mahasiswa hanya diam dan tidak merespons secara kritis pada era kali ini, hal itu tentu saja mengkhianati kesadaran kesejarahan dan visitransformatif gerakan mahasiswa.

Viva gerakan mahasiswa Indonesia, semoga sukses perjuangan kita! Wallahu A'lam.

Ahmad Fuad Fanani Redaktur Pelaksana Jurnal Progresif DPP IMM, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta

Tuesday, April 04, 2006

Gerakan Mahasiswa Tak Seperti Dulu

Kompas, 29 Janunari 2001


AKSI-aksi mahasiswa yang belum lama surut dalam beberapa hari terakhir muncul kembali. Akumulasi mahasiswa yang terlibat dalam aksi turun ke jalan terus bertambah, tidak hanya di Jakarta tetapi juga di sejumlah kota besar lainnya. Gelombang mahasiswa yang bergerak menuju Gedung MPR/ DPR Senayan makin membesar dan diperkirakan akan terus memuncak dalam minggu ini. Mahasiswa dengan warna-warni jaket dan polah-tingkahnya kembali tampil di layar televisi, surat kabar, dan majalah-majalah. Akankah peristiwa dramatik yang masih sangat segar dalam ingatan kita, ketika mahasiswa berbondong-bondong menguasai gedung para wakil rakyat yang berakhir dengan tersingkirnya seorang presiden dari kekuasaannya, berulang kembali?GERAKAN mahasiswa tahun 2001 tidak sama sebangun dengan gerakan yang muncul di tahun 1998. Pada awal tahun 1998 belum ada tanda-tanda yang cukup berarti yang bisa ditangkap bahwa mahasiswa akan bergerak dalam jumlah yang masif dan cukup kuat untuk menantang penguasa otoriter Orde Baru yang telah bercokol selama 32 tahun. Ketika Soeharto dikukuhkan kembali oleh MPR yang dipimpin mantan Menteri Penerangan Harmoko untuk ketujuh kalinya sebagai Presiden Republik Indonesia, baru sejumlah kecil mahasiswa yang mulai resah dan melakukan konsolidasi. Namun, sekonyong-konyong gerakan itu muncul bagaikan bola salju, makin membesar dan makin cepat bergulir.
Diawali dengan bentrokan dengan aparat kepolisian dan militer yang masih represif pada 2 Mei 1998, gerakan itu dengan cepat menular ke semua kampus. Penembakan terhadap empat mahasiswa Trisakti 13 Mei 1998, yang hingga kini belum tuntas diungkap, semakin mengobarkan semangat perlawanan mahasiswa. Puluhan ribu mahasiswa pada 18 Mei menyerbu Senayan dan gelombang itu makin membesar hingga Soeharto terpaksa meletakkan jabatan kepresidenannya.
Aksi-aksi mahasiswa terus berlanjut hingga terpilih duet Presiden Abdurrahman Wahid-Megawati Soekarnoputri melalui pemilihan umum yang dinilai cukup demokratis. Setelah itu gerakan mahasiswa tinggal riak-riak kecil yang tidak jelas lagi target dan tidak didukung oleh visi yang luas. Namun, dalam beberapa hari terakhir gelombang aksi mahasiswa marak kembali.
Berbeda dengan gerakan mahasiswa tahun 1998 yang lebih didominasi oleh gerakan di luar kampus, aksi-aksi mahasiswa saat ini diawali dengan keterlibatan para aktivis organisasi formal kampus, baik yang tergabung dalam senat mahasiswa, badan eksekutif mahasiswa, maupun keluarga mahasiswa. Mereka adalah para aktivis yang umumnya berafiliasi dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) atau Jaringan Mahasiswa Indonesia (JMI) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Keterkaitan itu dapat dengan mudah ditangkap dengan mendengarkan yel-yel dan lagu-lagu yang dinyanyikan ketika aksi maupun dari ukuran yang dipergunakan, yakni enam visi reformasi. Enam visi reformasi yang dimaksud adalah pencabutan Dwifungsi TNI/Polri, amandemen UUD 1945, otonomi daerah, supremasi hukum, pembudayaan demokrasi, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan Soeharto dan kroni-kroninya.
Sejak 15 Januari 2001, para aktivis lembaga formal kemahasiswaan ini bergerak dengan atribut-atribut kampusnya menyerukan dukungan terhadap Pansus Buloggate dan Bruneigate serta mengingatkan kembali enam agenda reformasi yang mereka perjuangkan. Para aktivis itu menolak dikategorikan dalam kelompok massa anti-Presiden Abdurrahman Wahid, meski dalam orasi mereka sangat kritis dan memberi nilai negatif kepada Abdurrahman Wahid. Bahkan dalam orasi maupun yel-yel mereka sering telontar tuntutan agar Abdurrahman Wahid mengundurkan diri.
***
KESATUAN-kesatuan aksi yang tidak berbasis agama, seperti Forum Kota, Jaringan Kota, Gerakan Mahasiswa dan Pemuda untuk Reformasi (Gempur), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred), Jaringan Kota, dan berbagai kesatuan aksi lainnya yang muncul setelah Soeharto tumbang belum memberikan sumbangan signifikan dalam gelombang aksi mahasiswa hari-hari ini. Mereka tengah berkonsolidasi untuk menyuarakan kembali tuntutan penghancuran Orde Baru, pengadilan Soeharto dan kroninya dalam mahkamah rakyat, dan pembubaran Partai Golkar. Dalam gelombang aksi yang berlangsung hingga akhir pekan lalu, baru sejumlah kecil mahasiswa yang turun ke jalan, sebagian lagi masih bersikap menunggu.
Akan tetapi, Jumat 26 Januari, di tengah gelombang mahasiswa dan massa anti-Abdurrahman Wahid, muncul sebuah kesatuan aksi baru yang menamakan diri Komite Mahasiswa Indonesia (KOMI). Tidak berbeda dengan para aktivis organisasi formal mahasiswa yang dapat diidentifikasi dengan mudah dari kelompok mana, asal-usul mereka dapat ditebak dengan mudah dengan mendengarkan jargon-jargon, yel-yel, dan lagu-lagu yang dinyanyikan. Tokoh-tokoh gerakan yang ada dalam KOMI merupakan para pemain lama yang dulu bergabung dalam Forum Kota, Famred, dan lain-lain. Namun, sebagian besar yang terlibat dalam KOMI memiliki keterkaitan dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang memiliki hubungan erat dengan Nahdlatul Ulama (NU).
Arif, aktivis KOMI, mengatakan bahwa kekisruhan politik yang terjadi selama ini dibuat oleh Orde Baru baik melalui teror bom, disintegrasi, maupun gerakan-gerakan politik lainnya. Orde Baru ingin agar kekuasaan kembali ke tangannya. Menurut Arif, mahasiswa yang terlibat dalam gerakan anti-Abdurrahman Wahid ada kaitannya dengan pudarnya organisasi kemahasiswaan berbasiskan agama dalam memonopoli sumber-sumber dana dari Bulog, Pertamina, dan badan-badan usaha milik negara lainnya. "Mereka lebih berorientasi pada kekuasaan," kata Arif yang juga ketua PMII Jakarta Timur itu.
Kaum "veteran" gerakan mahasiswa tahun 1998 masih sangat menentukan dalam aksi-aksi mahasiswa tersebut. Ada di antara mereka yang terlibat langsung dalam aksi namun ada juga yang sekadar menempatkan diri sebagai pengatur strategi dan sumber referensi. Sebagian besar di antaranya adalah tokoh-tokoh mahasiswa yang kelulusannya tertunda-tunda dan kuliahnya terkatung-katung atau mereka yang telah lulus tetapi tidak kunjung memperoleh pekerjaan.
"Gus Dur tidak bisa menjamin kehidupan saya. Sampai sekarang saya belum juga dapat pekerjaan," ujar seorang lulusan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, yang ditemui saat berbincang-bincang dengan sejumlah aktivis mahasiswa yang akan menggelar aksi mendukung Pansus Buloggate dan Bruneigate.
***
KEKUATAN gerakan mahasiswa yang bergerak saat ini tidak banyak berbeda dengan polarisasi yang terjadi yang terjadi di tingkat elite politik. Mereka terpecah dalam kelompok anti-Abdurrahman Wahid, pendukung Abdurrahman Wahid, dan kelompok di tengah yang masih ragu-ragu. Kehadiran mereka dimeriahkan dengan sejumlah massa demonstran bayaran dan massa yang digerakkan oleh partai politik, yang mungkin akan terus bertambah dalam pekan ini. Kemurnian gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral makin diragukan. Mereka tidak banyak berbeda dengan massa rakyat yang mudah diombang-ambingkan oleh kepentingan elite politik yang mengutamakan kekuasan. Dalam keadaan seperti itu tidak mudah gerakan mahasiswa tahun 2001 dapat merebut hati rakyat pada umumnya. Peran sebagai gerakan moral jangan-jangan direduksi menjadi sekadar kerumunan massa pengikut.
Dulu gerakan mahasiswa yang terserpih-serpih, tanpa pemimpin, menjadi sebuah mozaik yang membentuk kesatuan gerakan untuk meruntuhkan sebuah rezim yang lalim. Serpihan-serpihan itu kini tidak membentuk sebuah mozaik yang membuat orang kagum tetapi menjadi bagian dari sebuah kekuatan dan masyarakat yang terbelah.
Agus Haryadi, mantan aktivis Forum Salemba, mencoba menjelaskan mengapa gerakan mahasiswa yang ada sekarang tidak satu seperti dulu. Gerakan Mei 1998, kata Agus, memiliki musuh yang jelas, yakni Soeharto. Apa yang terjadi sekarang tidak berbeda dengan gerakan tersebut. "Sama seperti dulu, semula banyak mahasiswa yang takut dan ragu-ragu. Sekarang ini kita tengah menuju kristalisasi pendapat di kalangan mahasiswa. Ketika angin berembus cukup kuat, saya yakin mereka juga akan ikut," kata Agus yang masih menjalin hubungan dekat dengan para aktivis organisasi formal kemahasiswaan.
Fanni, aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, mengemukakan, gerakan mahasiswa saat ini memang agak berbeda dengan gerakan tahun 1998. Pada tahun 1998 ada musuh bersama yang sama. Namun saat ini yang dipermasalahkan adalah tata nilainya. Namun, Fanni mengelak bahwa gerakan para aktivis organisasi formal kemahasiswaan yang ada saat ini terkait dengan KAMMI atau HMI. "Kami berjalan sendiri, kami punya visi sendiri, yang menjadi ukuran kami adalah enam visi reformasi. Ketika agenda itu tidak dijalankan, apakah oleh Presiden atau MPR, kami akan terus bergerak," ujarnya.
Masinton, aktivis Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), menuduh para aktivis organisasi formal kemahasiswaan telah menjadi partisan politik. Mobilisasi massa mahasiswa dengan isu Buloggate dan Bruneigate, menurut dia, patut dipertanyakan. Alasannya, kalau mau jujur DPR mestinya juga menuntaskan kasus penyelewengan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai ratusan trilyun rupiah, bukannya terpaku pada penyimpangan dana Yanatera Bulog. "Mahasiswa sekarang memang sudah jadi partisan politik. Mereka itulah dulu para pendukung kekuasaan BJ Habibie," kata Masinton.
Namun, menurut Agus Haryadi, tuduhan itu tidak beralasan karena aktivis organisasi formal kemahasiswaan yang tergabung dalam Forum Salemba maupun badan-badan eksekutif mahasiswa bersikap kritis terhadap pemerintahan Habibie dan memperjuangkan terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil. Itu justru tidak dilakukan oleh Forkot dan lain-lainnya yang justru menyuarakan penolakan terhadap pemilu.
Fadjroel Rachman, anggota Presidium Forum Pascasarjana UI, berpendapat bahwa mayoritas mahasiswa yang menyuarakan pembubaran Orde Baru dan Golkar bukan berarti mereka pendukung Abdurrahman Wahid. Mahasiswa, kata Fadjroel, mengetahui bahwa dalang konflik elite politik saat ini adalah Golkar. Golkar memanfaatkan konflik politik untuk melindungi diri dari upaya-upaya semua elemen yang ingin menjalankan reformasi dan demokrasi.
"Bila Gus Dur terbukti secara hukum terlibat, mahasiswa tentu akan menuntut ia mundur. Namun bila tidak, seruan mahasiswa terhadap pembubaran Golkar akan makin gencar," kata Fadjroel.
Akan tetapi, Aznil, mahasiswa Universitas Mercu Buana yang pernah dihajar aparat saat bersama delapan kawannya hendak menerobos Istana semasa kekuasaan Habibie, menyatakan bahwa gerakan mahasiswa saat ini telah cacat. Mahasiswa terjebak dalam blok-blok politik, baik yang anti-Abdurrahman Wahid dengan dibungkus isu dukungan terhadap Pansus Buloggate dan Bruneigate ataukah para pendukung Abdurrahman Wahid. Mestinya gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral berpihak pada rakyat, independen, dan tidak ikut dalam blok-blok politik.
"Saya kira rakyat sudah muak dengan gerakan mahasiswa. Perjuangan mahasiswa selama ini hanya dimanfaatkan untuk kepentingan elite. Mereka lupa bahwa demokrasi ini dibangun di atas darah, keringat, dan nyawa teman-teman," kata Aznil. (wis/win)

DARI JALANAN KE LSM: Kiprah Gerakan Mahasiswa dalam Pemilihan Umum

http://www.transparansi.or.id/majalah/edisi5/5profil_1.html

Ketika gerakan mahasiswa masih asyik masyuk dengan aksi-aksi turun ke jalan, sejumlah pengamat politik khawatir para calon pemimpin bangsa ini lalai merumuskan agenda reformasi lebih lanjut, sehingga kesalahan sejarah, saat mahasiswa sukses menumbangkan Orde Lama, tapi gagal menyusun platform Orde Baru, akan terulang. Namun, tampaknya selama bulan Ramadhan lalu, banyak para aktifis mahasiswa yang mengkaji ulang arah gerakan mereka, dan kini tampil lebih dewasa dengan menempatkan diri sebagai mitra tanding pelaksanaan pemilihan umum bulan Juni 1999. Salah satunya adalah University Network for Free and Fair Election (UNFREL).
Resmi diumumkan pada tanggal 5 Desember 1998, University Network for Free and Fair Election atau dikenal juga sebagai Jaringan Perguruan Tinggi Pemantau Pemilu merupakan wujud kerjasama dari ---pada awalnya--- 14 perguruan tinggi di seluruh Indonesia untuk terlibat aktif dalam pemilihan umum bulan Juni mendatang.
Gagasan untuk aktif memantau pelaksanaan pemilu dan mendidik masyarakat tentang hak-hak mereka dalam pemilu muncul beberapa bulan sebelumnya, dengan berkaca pada pengalaman mahasiswa di negara-negara tetangga, seperti Muangthai dan Filipina. "Ide pembentukan Jaringan Universitas Pemantau Pemilu ini sebenarnya sudah lama sekali dicetuskan sebelum Presiden menawarkan kepada mahasiswa," kata Rama Pratama, mantan Ketua Senat Mahasiswa UI yang merupakan salah satu penggagas, "Pembentukan JUPP yang nantinya diwujudkan dalam kerja-kerja konkret ini merupakan semangat mendukung reformasi, khususnya yang berhubungan dengan pelaksanaan pemilu."
Motor penggerak UNFREL lainnya, yaitu pengacara Todung Mulya Lubis, SH menekankan bahwa dasar berdirinya JUPP antara lain memperjuangkan keinginan rakyat agar pemilihan umum berlangsung langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sehingga terwujud pemerintahan yang demokrasi. Mulya Lubis khawatir, tanpa pengawasan yang ketat, keinginan masyarakat ini tidak akan tercapai. 'Dengan mesin birokrasi kementerian dalam negeri dari pusat sampai ke kelurahan, maka amat banyak peluang terbuka bagi penyalahgunaan kekuasaan dan keberpihakan,'' kata mantan pengacara LBH Jakarta ini, sebagaimana dikutip harian Republika edisi 5 Desember 1998.
Sementara ahli sosiologi Dr. Riga Adiwoso Suprapto, dalam tulisannya dalam Pertemuan Nasional Pembentukan Jaringan Universitas Pemantau Pemilu 1999, menegaskan kewajiban moral sivitas akademika untuk menyukseskan pemilu. "Kekuatan perguruan tinggi adalah independensinya, kemampuannya bersikap netral, ketekadannya untuk mencari dan menyuarakan apa yang benar dan kejeliannya meneliti serta mengamati tindakan yang menyimpang," tulis Dr. Riga.
Luwes, Bebas, Terkendali
Sesuai dengan namanya pengorganisasian kegiatan dari UNFREL mengambil struktur organisasi jaringan (network organization). Masing-masing simpul jaringan memiliki kebebasan dalam menentukan kegiatan inti, hal yang didasarkan pada analisis kekuatan utama yang dimiliki. Dengan strategi demikian diharapkan timbul kesatuan yang bersifat saling melengkapi dalam setiap rangkaian kegiatannya.
Organisasi ini juga menganut asas keluwesan dan kebebasan (desentralisasi) dari setiap simpul untuk menentukan tata cara dan program kerja. Ikatan dengan simpul akan berupa koordinasi, kebersamaan dan komunikasi antar simpul, sehingga pada akhirnya aktivitas organisasi menjadi sejalan dan senada tanpa masing-masing saling mengintervensi. Sifat hubungan dengan induk akan lebih berupa pemberian pertanggung jawaban terhadap kegiatan. Hubungan dengan induk tidak berupa upaya mendapatkan ketentuan yang baku dari kegiatan yang akan dilaksanakan.
Organisasi induk (biasa disebut sebagi Tim Nasional) bertugas memfasilitasi proses komunikasi dan koordinasi dengan lembaga di luar jaringan serta jika perlu hubungan antar simpul. Dalam struktur organisasi, tim nasional dapat dianggap sebagai Information Clearing House sehingga kebutuhan informasi mengenai proses pemantauan yang diinginkan simpul-simpul dalam jaringan dapat diberikan begitu juga sebaliknya.
Secara organisasional, tim nasional tidak berhak turut campur dalam setiap kebijakan simpul. Namun, secara operasional, tim nasional memberikan gagasan prinsip, kriteria serta prosedur pemantauan yang perlu dipelajari, diperhatikan dan diolah oleh masing-masing simpul dengan pertimbangan kondisi dan konteks setempat. Tim nasional berisikan presidium inti yang berkewajiban mengembangkan dan mengadakan kontak dengan pihak dan lembaga lain di luar jaringan. Disamping itu tim nasional juga terdiri dari simpul-simpul program kegiatan yang melayani setiap simpul dalam jaringan.
Bukan Pemilu Belaka
Sebagai lembaga yang bersifat nasional dan didirikan dengan tujuan mewujudkan kedaulatan rakyat, UNFREL melakukan hubungan yang mutualistis baik dengan pihak perguruan-perguruan tinggi, pemerintah maupun dengan lembaga pemantau lainnya.
Tatanan organisasi UNFREL sendiri bersifat terbuka, bebas dan independen. Setiap anggota sivitas akademika boleh terlibat menjadi relawan gugus kerja, asalkan tidak terlibat secara aktif sebagai pengurus partai, tidak punya kepentingan golongan atau partai dan bukan anggota ABRI.
Sesuai dengan namanya yang merupakan jaringan antar perguruan tinggi, UNFREL lebih memprioritaskan mahasiswa dan dosen sebagai relawan, "Karena mereka merupakan kalangan civitas academica yang masih aktif terlibat dalam dunia akademis," ujar salah seorang pengurus.
Lingkup pantauan UNFREL tidak melulu berada pada urusan pemilu belaka. Lembaga ini memulai pekerjaannya semenjak masa-masa pra pemilu, yakni ketika proses penetapan UU pemilu, UU parpol dan UU Susunan dan Kedudukan sampai dengan proses registrasi pemilih dimulai hingga pada tahapan akhir pemilu. Tujuannya tentu demi menjamin agar pemilih dapat memilih dengan bebas tanpa tekanan dan dengan kerahasiaan yang terjamin sekaligus memastikan agar proses penghitungan suara dilakukan dengan jujur tanpa kecurangan.
Sebagai lembaga yang sifatnya swadaya, sumber pendanaan UNFREL berasal dari sumbangan donatur yang dapat berupa individu maupun lembaga dengan beberapa syarat sesuai dengan semangat reformasi. Segala bentuk sumbangan, baik yang berupa uang maupun barang diterima dengan perjanjian yang pada intinya menjamin ketiadaan intervensi dari donatur. Sementara sebagai upaya transparansi penggunaan dana, UNFREL menggunakan jasa akuntan profesional untuk melakukkan pencatatan audit. Pencatatan yang dilakukan minimal dua kali dalam setahun tersebut akan selalu dipublikasikan secara terbuka melalui media massa dalam negeri.

Monday, April 03, 2006

Gerakan Mahasiswa sebagai Gerakan Pemberdayaan dan Identitas (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

http://www.transparansi.or.id/majalah/edisi20/20berita_4.html

Diskurkus tentang mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan pada hampir sepanjang tahun. Begitu banyaknya forum-forum diskusi yang diadakan, telah menghasilkan pula pelbagai tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan politik kontemporer di Indonesia. Terutama dalam konteks keperduliannya dalam meresponi masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat.
Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika maraknya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran gerakan mahasiswa --- sebagai perpanjangan aspirasi rakyat ---- dalam situasi yang demikian itu memang amat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi vis a vis penguasa. Secara umum, advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas konflik yang terjadi menjadi lebih signifikan. Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa lebih banyak mengacu pada panggilan nurani atas keperduliannya yang mendalam terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas hidup bangsanya.
Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Saking begitu berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakkan negara di dunia telah mencatat bahwa perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa.
Alasan utama menempatkan mahasiswa beserta gerakannya secara khusus dalam tulisan singkat ini lantaran kepeloporannya sebagai "pembela rakyat" serta keperduliannya yang tinggi terhadap masalah bangsa dan negaranya yang dilakukan dengan jujur dan tegas. Walaupun memang tak bisa dipungkiri, faktor pemihakan terhadap ideologi tertentu turut pula mewarnai aktifitas politik mahasiswa yang telah memberikan konstribusinya yang tak kalah besar dari kekuatan politik lainnya. Oleh karenanya, penulis menyadari bahwa deskripsi singkat dalam artikel ini belum seutuhnya menggambarkan korelasi positif antara pemihakan terhadap ideologi tertentu dengan kepeloporan yang dimiliki dalam menengahi konflik yang ada. Mungkin bisa dikatakan artikel ini lebih banyak mengacu pada refleksi diskursus-diskursus politik kekuasaan otoritarian Orde Baru yang sengit dilakukan di kalangan aktifis mahasiswa dalam dekade 90-an. Di mana sebagian besar gerakan-gerakan mahasiswa yang terjadi kala itu, penulis ikut terlibat di dalamnya. Tentunya, pendekatan analisis dalam artikel ini lebih mengacu pada gerakan mahasiswa pro-demokrasi jauh sebelum maraknya gerakan mahasiswa dalam satu tahun terakhir ini, yang akhirnya mengantarkan pada pengunduran diri Presiden Soeharto.
Pemihakan terhadap ideologi tertentu dalam gerakan mahasiswa memang tak bisa dihindari. Pasalnya, pada diri mahasiswa terdapat sifat-sifat intelektualitas dalam berpikir dan bertanya segala sesuatunya secara kritis dan merdeka serta berani menyatakan kebenaran apa adanya. Maka, diskursus-diskursus kritis seputar konstelasi politik yang tengah terjadi kerap dilakukan sebagai sajian wajib yang mesti disuguhkan serta dianggap sebagai tradisi yang melekat pada kehidupan gerakan mahasiswa.
Pada mahasiswa kita mendapatkan potensi-potensi yang dapat dikualifikasikan sebagai modernizing agents. Praduga bahwa dalam kalangan mahasiswa kita semata-mata menemukan transforman sosial berupa label-label penuh amarah, sebenarnya harus diimbangi pula oleh kenyataan bahwa dalam gerakan mahasiswa inilah terdapat pahlawan-pahlawan damai yang dalam kegiatan pengabdiannya terutama (kalau tidak melulu) didorong oleh aspirasi-aspirasi murni dan semangat yang ikhlas. Kelompok ini bukan saja haus edukasi, akan tetapi berhasrat sekali untuk meneruskan dan menerapkan segera hasil edukasinya itu, sehingga pada gilirannya mereka itu sendiri berfungsi sebagai edukator-edukator dengan cara-caranya yang khas".
Masa selama studi di kampus merupakan sarana penempaan diri yang telah merubah pikiran, sikap, dan persepsi mereka dalam merumuskan kembali masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya. Kemandegan suatu ideologi dalam memecahkan masalah yang terjadi merangsang mahasiswa untuk mencari alternatif ideologi lain yang secara empiris dianggap berhasil. Maka tak jarang, kajian-kajian kritis yang kerap dilakukan lewat pengujian terhadap pendekatan ideologi atau metodologis tertentu yang diminati. Tatkala, mereka menemukan kebijakan publik yang dilansir penguasa tidak sepenuhnya akomodatif dengan keinginan rakyat kebanyakan, bagi mahasiswa yang committed dengan mata hatinya, mereka akan merasa "terpanggil" sehingga terangsang untuk bergerak.
Dalam kehidupan gerakan mahasiswa terdapat adagium patriotik yang bakal membius semangat juang lebih radikal. Semisal, ungkapan "menentang ketidakadilan dan mengoreksi kepemimpinan yang terbukti korup dan gagal" lebih mengena dalam menggugah semangat juang agar lebih militan dan radikal. Mereka sedikit pun takkan ragu dalam melaksanakan perjuangan melawan kekuatan tersebut. Pelbagai senjata ada di tangan mahasiswa dan bisa digunakan untuk mendukung dalam melawan kekuasaan yang ada agar perjuangan maupun pandangan-pandangan mereka dapat diterima. Senjata-senjata itu, antara lain seperti; petisi, unjuk rasa, boikot atau pemogokan, hingga mogok makan. Dalam konteks perjuangan memakai senjata-senjata yang demikian itu, perjuangan gerakan mahasiswa --- jika dibandingkan dengan intelektual profesional ---- lebih punya keahlian dan efektif.
Kedekatannya dengan rakyat terutama diperoleh lewat dukungan terhadap tuntutan maupun selebaran-selebaran yang disebarluaskan dianggap murni pro-rakyat tanpa adanya kepentingan-kepentingan lain meniringinya. Adanya kedekatan dengan rakyat dan juga kekauatan massif mereka menyebabkan gerakan mahasiswa bisa bergerak cepat berkat adanya jaringan komunikasi antar mereka yang aktif ( ingat teori snow bowling)..Oleh karena itu, sejarah telah mencatat peranan yang amat besar yang dilakukan gerakan mahasiswa selaku prime mover terjadinya perubahan politik pada suatu negara. Secara empirik kekuatan mereka terbukti dalam serangkaian peristiwa penggulingan, antara lain seperti : Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, Soekarno di Indonesia tahun 1966, Ayub Khan di Paksitan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987, Ferdinand Marcos di Filipinan tahun 1985, dan Soeharto di Indonesia tahun 1998. Akan tetapi, walaupun sebagian besar peristiwa pengulingan kekuasaan itu bukan menjadi monopoli gerakan mahasiswa sampai akhirnya tercipta gerakan revolusioner. Namun, gerakan mahasiswa lewat aksi-aksi mereka yang bersifat massif politis telah terbukti menjadi katalisator yang sangat penting bagi penciptaan gerakan rakyat dalam menentang kekuasaan tirani.