Kumpulan Tulisan dan Berita tentang Gerakan Mahasiswa

Tuesday, March 22, 2005

Politik Mogok Makan

Didik Supriyanto - detikcom

Jakarta
- Berita mogok makan menentang kenaikan harga BBM, mengingatkan saya akan kejadian di Kampus Bulaksumur, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, pada pertengahan 1991. Saat itu, aktivis mahasiswa UGM sedang terbelah, menyusul keluarnya kebijakan SMPT (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi) dari Menteri Fuad Hassan.

Keberadaan SMPT sebetulnya sudah lama dinantikan mahasiswa. Maklum, sejak diterapkannya kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaa)oleh Menteri Daoed Joesoef pada 1978, praktis tiada lagi lembaga representasi mahasiswa di tingkat universitas. Dewan Mahasiswa yang memotori gerakan mahasiswa 1978 dibubarkan pemerintah, menyusul serbuan tentara ke kampus untuk menumpas gerakan anti-Soeharto menjelang SU-MPR 1978.

Meski demikian, penerapan kebijakan SMPT ternyata menimbulkan prokontra. Di satu pihak, sekelompok mahasiswa, yang dimotori oleh Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Badan Perwakilan Mahasisswa Fakultas (BPMF), bersikeras agar Senat Mahasiswa (SM) UGM segera dioperasionalisasikan. Kelompok ini percaya bahwa SM UGM akan efektif menyalurkan aspirasi mahasiswa dan mengontrol kebijakan rektorat.

Di lain pihak, muncul sekelompok mahasiswa yang menentang operasionalisasi SM UGM, karena lembaga ini dinilai tidak memiliki otonomi sebagaimana dulu pernah dimiliki Dewan Mahasiswa. Kelompok ini khawatir, kehadiran SM UGM hanya akan dijadikan stempel oleh pejabat-pejabat kampus, sebagaimana DPR dijadikan stempel oleh pemerintah.

Prokontra itu berlangsung berbulan-bulan, lewat diskusi formal maupun nonformal. Pers mahasiswa UGM mendokumentasikan masalah ini dengan baik, demikian juga dengan media lokal, seperti Kedaulatan Rakyat dan Bernas. Namun diskusi mesti diakhiri, dan aksi harus dimulai. Dan ketika rektor UGM mengesahkan SM UGM, kelompok yang tidak setuju pun memulai aksi penentangan.

Kelompok penentang ini, menggelar aksi lewat demo keliling kampus dan orasi-orasi di halaman Balairung Gedung Pusat UGM. Demi menjaga kelanjutan aksi penetangan mereka berkemah, mendirikan tenda di halaman Balairung. Ini pun masih belum cukup. Untuk menunjukkan keseriusan aksi penentangan, beberapa aktvis melakukan aksi mogok makan.

Jadilah, di bawah bohon bodi di halaman Balairung Gedung Pusat UGM, berdiri tenda kemah yang di dalamnya 'dihuni' beberapa mahasiswa yang sedang mogok makan.

Mungkin aksi mogok makan itu bukan kali yang pertama dalam rentang gerakan penentangan pada zaman Orde Baru. Namun, aksi ini cukup memperkenalkan bentuk-bentuk perlawanan baru yang diusung mahasiswa, selain yang konvensional, seperti orasi, demonstrasi dan juga apa yang disebut dengan happening art.

Namun jenis aksi baru ini segera kehilangan maknanya, paling tidak di lingkungan kampus UGM. Kenapa? Pertama, aksi mogok makan itu tidak sampai pada titik yang dramatik, misalnya pelakunya sampai meninggal, atau setidak-tidaknya sampai merepotkan tenaga medis sehingga publikasi runtutan kejadian tersebut bisa mengharibiru banyak orang; kedua, kenyataanya kebijakan yang ditentang tetap berjalan karena pengambil kebijakan 'tak tersentuh' oleh aksi mogok makan.

Sejak dimulainya aksi mogok makan menetang penerapan SMPT sebetulnya publikasi media lokal dan penyebarluasan infomasi dari mulut ke mulut lumayan seru. Namun, ketika memasuki hampir sepekan ternyata 'tidak terjadi apa-apa' dengan si palaku aksi mogok makan, maka keseriusan aksi mogok makan itu dipertanyakan. Mereka benar-benar cuma mau main gertak. Celakanya, ketika yang digertak tidak surut, mereka pun menurunkan derajat aksinya jadi sekadar main-main.

Mereka mengaku hanya mogok makan. "Ini kan aksi mogok makan, jadi minum dan merokok jalan terus," kata aktivis yang mendampingi mereka yang mogok makan. "Setiap malam kita kasih minum sari kacang hijau, biar fisiknya kuat....."

(diks/)


Sumber