Kumpulan Tulisan dan Berita tentang Gerakan Mahasiswa

Thursday, April 06, 2006

Buloggate II dan Progresivitas Gerakan Mahasiswa

Kompas, Senin, 15 april 2002

Ahmad Fuad Fanani

Perkembangan kasus dana nonbudgeter Bulog, sampai saat ini masih terus menarik untuk dicermati. Terlebih lagi pascaperistiwa penangguhan penahanan Akbar Tandjung oleh PN Jakarta Pusat hari Jumat.

Alasan dibebaskannya Akbar, menurut Humas PN Jakarta Pusat karena dia tidak lagi dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan bukti, ataupun mengulangi tindakan kejahatan lagi. Maka, keluarlah SK No 449.Pid.B/2002/PN Jak-Pus, yang menurut mereka berawal dari jaminan dari istri beliau. (Kompas, 7/4/2002)

Seperti sudah banyak diduga, penangguhan penahanan tersebut pasti menimbulkan banyak pertanyaan dan kontroversi. Kontroversi itu paling tidak, bisa dilihat dari kenyataan tidak dibebaskannya tahanan lain pada kasus yang sama, yaitu Rahardi Ramelan, Wilfred Simatupang, dan Dadang Sukandar. Bahkan, yang lebih aneh lagi, Rahardi Ramelan justru diperpanjang masa penahanannya 60 hari, dengan dalih untuk mempermudah pengusutan dan penanganan kasus tersebut.

Sebetulnya, dari fakta yang ada, tampak dari awal bahwa penanganan kasus ini jauh berbeda dengan kasus terdahulu (Buloggate I). Bila dahulu proses perjalanannya di DPR tidak bertele-tele, maka sekarang tampaknya sedikit terulur-ulur, tidak ada kekompakan, dan terjadi perubahan keputusan politik tiap detik.

Hal itu bisa terlihat tidak hanya di panggung politik saja, namun juga merambah pada penanganan hukum ataupun peliputan media yang tidak segegap-gempita masa lampau. Maksudnya, bila dahulu hampir semua media membangun wacana bahwa Gus Dur beserta kawan-kawannya harus diadili, maka yang tampak sekarang adalah seakan-akan terjadi politisasi pada kasus ini.

Meskipun publik akhirnya agak lega sedikit dengan ditahannya Akbar Tandjung pada 7 Maret 2002, tetapi itu tetap belum bisa memulihkan kepercayaan publik. (Kompas, 8/3/ 2002). Karena, sebagian besar dari mereka menganggap bahwa penahanan itu tak lebih dari sebuah sandiwara murahan dan gampang basi.

Apalagi, Akbar yang sudah jelas menjadi tersangka belum juga mau mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR. Jika ia tidak mau mundur dari Ketua Umum DPP Golkar, mungkin orang masih mau memaklumi, namun pada hal yang pertama tentu menimbulkan tanda tanya besar. Karena, persoalan moralitas politik dan keteladanan publik layak dipertimbangkan olehnya.

Fenomena gerakan mahasiswa

Pemerintahan Indonesia yang sedang berjalan di era transisi, agar tidak menyimpang ke otoritarianisme kembali, haruslah bergerak secara progresif, dinamis, dan kalau perlu revolusioner. Maka, penanganan atas penyelewengan dana Bulog ini haruslah diusut secara tuntas dan maksimal. Dalam hal ini, gerakan mahasiswa banyak diharapkan geraknya untuk memberikan pressure kepada pemerintah yang berjalan dengan lemah gemulai seperti saat sekarang. Namun, dalam menyikapi kasus Buloggate II, ironisnya gerakan mahasiswa mengidap penyakit yang tidak jauh berbeda dengan fenomena keadaan politik Indonesia di atas. Padahal, pada pemerintahan sebelumnya dan untuk kasus yang sama, gerakan mereka berjalan secara spektakuler, fenomenal, dan mengundang decak kagum sebagian rakyat Indonesia.

Bila kita amati gerakan mahasiswa 2001, setidaknya akan kita jumpai tiga warna gerakan berdasarkan pemetaan isu yang diusung dan diperjuangkan. (Tabloid Detak, Edisi Maret 2001)

Pertama, gerakan mahasiswa yang terkumpul dalam aliansi BEMI (Badan Eksekutif Mahasiswa Indonesia). Mereka terdiri dari PMII, Famred, Jarkot, Forkot, BEM PT Jawa Timur, serta sebagian gerakan kiri lainnya. Pada waktu itu, isu yang mereka perjuangkan adalah pembubaran Golkar, pengadilan Soeharto, dan desakan untuk percepatan pemilu. Dalam hal penurunan Gus Dur yang terlibat Buloggate I, mereka cenderung tidak larut serta bahkan terkesan membelanya.

Kedua, mahasiswa yang tergabung dalam BEMSI (Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia). Kelompok ini terdiri dari UI, ITB, Trisakti, UNJ, IPB, dan beberapa perguruan tinggi lainnya. Isu yang mereka usung dan perjuangkan adalah menuntut Gus Dur untuk turun, pembersihan KKN, pengadilan Soeharto, dan pelaksanaan enam agenda reformasi. Di antara beberapa elemen gerakan mahasiswa yang ada, merekalah yang paling gegap-gempita dan bersemangat untuk menurunkan Gus Dur.

Ketiga, kelompok yang tidak bergabung dengan mereka di atas dan berdiri membawa benderanya masing-masing. Mereka adalah KAMMI, HMI MPO, HMI DIPO, IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), Alfonso (Aliansi Lembaga Formal Seluruh Indonesia), Hammas, dan lain-lain. Kelompok ini menganggap bahwa Gus Dur hanyalah entry point dari seluruh desakan untuk menegakkan clean and good governance. Maka, yang lebih diperlukan adalah revolusi sistemik atas segala perangkat politik dan budaya Indonesia.

Beberapa pengelompokan gerakan mahasiswa berdasarkan tipologi gerakan diusung, sampai sekarang masih bisa kita jumpai. Setidaknya sekarang ini ada kelompok mahasiswa kanan, kiri, dan tengah yang tampak muncul di permukaan. (Ahmad Fuad Fanani, Republika, 16/3/2002). Namun, berbagai tipologi gerakan mahasiswa 2002 yang ada tersebut, dalam penyikapannya terhadap kasus Buloggate II, sangat jauh tertinggal dari gerakan mahasiswa 2001. Karena, sampai persidangan Akbar yang ketiga kalinya, hanya BEM UI yang bisa kita saksikan bersama-sama menuntut. Meskipun KAMMI melakukan demonstrasi juga, itu hanya terjadi di daerah-daerah. Malahan, sekarang ini KAMMI dan gerakan mahasiswa kanan lainnya seperti Hammas dan HMI MPO lebih menyukai dan merasa perlu untuk melakukan demonstrasi mengutuk penyerangan Israel atas Palestina.

Kemudian, gerakan mahasiswa yang sering diidentikkan radikal, revolusioner, dan garang dalam berunjuk rasa seperti PMII, Famred, Forkot, Jarkot, dan lain sebagainya juga terlihat diam dan tenteram melihat permainan politik dan hukum di balik kasus Buloggate II ini. Padahal, merekalah yang dahulu paling agresif mengutuk Orde Baru, menuntut pengadilan Soeharto, dan mendesak pembubaran Golkar. Namun, pada kasus yang merupakan momentum pembukaan kotak pandora atas tuntutannya di atas, mereka kurang terlihat pro-aktif untuk meresponsnya.

Lantas, ke mana pula perginya dan istirahatnya gerakan mahasiswa yang bertipologi tengah-tengah seperti IMM, HMI DIPO, PMKRI, GMNI, GMKI, dan sebagainya? Kenapa mereka belum melakukan demonstrasi mengutuk pembantaian negara Palestina dan tidak juga mendesak penuntasan kasus Buloggate II sebagai perwujudan visinya sebagai agent of social change and moral control? Padahal, peran kesejarahan dan visi transformasi mahasiswa yang harum sepanjang sejarah dalam menegakkan keadilan dan demokratisasi, banyak ditunggu masyarakat banyak yang sudah jengah terimpit oleh krisis dan ketidakpastian politik.

Tuntutan kesejarahan

Menurut M Hatta, pemuda yang di antaranya sebagian besar terdiri dari para mahasiswa adalah harapan bangsa dan pelopor dalam setiap perjuangan. Pernyataan itu bukanlah sekadar pujian atau isapan jempol belaka, tetapi sebuah fakta sejarah yang tidak bisa dimungkiri. Hal itu tampak terlihat pada gegap-gempita perjuangan para pemuda Indonesia yang berhimpun dalam Budi Oetomo pada 2 Mei 1908, para pemuda yang menggalang persatuan Indonesia lewat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Hatta dan kawan-kawannya di Belanda yang menyosialisasikan negara Indonesia, serta perjuangan Soekarno beserta angkatannya lewat pendirian PNI di Bandung yang bergerak memperjuangkan nasionalisme dan menolak hegemoni Belanda. Begitu juga, ketika persiapan proklamasi kemerdekaan, para pemuda Indonesia yang dipandegani Sukarni adalah mereka yang meyakinkan Soekarno dan Hatta untuk segera melaksanakan proklamasi itu. (Ben Anderson, Revoloesi Pemoeda, 1988)

Pernyataan Bung Hatta di atas relevan dengan keadaan sekarang, khususnya sebagai pemecut semangat kebangkitan dan progresivitas gerakan mahasiswa yang cenderung melemah. Karena, ketika partai politik sebagai organisasi politik resmi negara melemah fungsinya seperti saat ini, gerakan mahasiswalah yang dituntut untuk mengingatkan dan mendesak terus-menerus. Terlebih lagi partai politik Indonesia saat ini, tidak peka sama sekali terhadap isu-isu publik untuk pemberdayaan rakyat, pengentasan krisis, serta pencerdasan bangsa. Mereka lebih sibuk dengan isu-isu berdimensi aliran, uang, serta pembagian kekuasaan.

Oleh karena itu, tidak alasan lagi bagi gerakan mahasiswa untuk tidak bergerak dan menyatukan langkah dalam menegakkan kebebasan dan keadilan.

Pada dasarnya, gerakan mahasiswa merupakan sebuah gerakan budaya, karena ia memiliki kemandirian dan berdampak politik yang sangat luas. Oleh karena itu, mereka tidaklah boleh cepat puas dengan hasil yang dicapai. Gerakan mereka juga harus senantiasa menegakkan asas kebenaran politik dan pengungkapan kebenaran publik sekaligus. Maka, budaya Indonesia yang cenderung cepat puas dengan keadaan dan tidak peduli dengan perkembangan karena sibuk sendirian, tidaklah patut menjadi paradigma gerakan mahasiswa. (Yozar Anwar, Pergolakan Mahasiswa Abad ke-20, 1981)

Meskipun pemerintah, para politisi, anggota DPR, ataupun para eksekutif dan penguasa seperti tampak kita saksikan sehari-hari kurang berbudaya adiluhung, namun mahasiswa sebagai harapan bangsa terbesar tidaklah perlu terhinggapi virus tersebut. Terlebih lagi, budaya patron-client, malu, sungkan dengan senior, dan bermuka dua (munafik) yang banyak menjangkiti politisi dan sebagian masyarakat itu, bukanlah contoh yang bagus bagi para aktivis gerakan mahasiswa.

Agar gerakan mahasiswa menjadi progresif, dinamis, revolusioner, dan inklusif, menurut penulis, gerakan mahasiswa haruslah meniscayakan hal berikut ini.

Pertama, pro-aktif merespons keadaan dan teguh pendirian. Gerakan mahasiswa haruslah bersatu dalam visi penegakan keadilan dan penumpasan kemunafikan. Hal ini bisa dilakukan dengan saling memasok informasi untuk selanjutnya dilanjutkan pada penyusunan agenda aksi. Sedangkan teguh pendirian yang dimaksud di sini adalah gerakan mahasiswa haruslah bersifat independen dan tidak menjadi perpanjangan tangan para seniornya. Karena, hal ini biasanya hanya akan menimbulkan friksi di kalangan sendiri dan saling memperebutkan proyek demonstrasi.

Kedua, melakukan dialog transformatif-meminjam istilah Jurgen Habermas-untuk menciptakan masyarakat komunikatif yang demokratis. Bila selama ini gerakan intelektual cenderung elitis dan menggunakan bahasa yang mengawang, maka gerakan mahasiswa yang juga gerakan intelektual plus, haruslah mencerdaskan, mencerahkan, dan memberdayakan masyarakat yang selama ini banyak ditindas.

Ketiga, mendorong para aktivisnya untuk membentuk kapasitas intelektul yang memadai dan berjiwa intelektual organik-meminjam istilah Antonio Gramsci.

Hal ini berguna agar para aktivis gerakan tidak hanya sibuk di lapangan, kurang melakukan refleksi, dan cenderung bergerak secara pragmatis. Bila mereka mampu memiliki kapasitas intelektual yang tinggi, tentu saja akan berguna pada penyusunan strategi dan pengajuan alternatif konsep penyelesaian masalah yang dikritik secara lebih sistematis dan memadai.

Terakhir, ketidakpastian penanganan Buloggate II dan kelambanan pemerintah dalam melaksanakan agenda reformasi untuk menegakkan demokrasi adalah sebuah momentum yang baik untuk membangkitkan kembali progresivitas gerakan mahasiswa. Karena, kesempatan ini tidaklah bisa datang untuk kedua kali. Di samping, bila gerakan mahasiswa hanya diam dan tidak merespons secara kritis pada era kali ini, hal itu tentu saja mengkhianati kesadaran kesejarahan dan visitransformatif gerakan mahasiswa.

Viva gerakan mahasiswa Indonesia, semoga sukses perjuangan kita! Wallahu A'lam.

Ahmad Fuad Fanani Redaktur Pelaksana Jurnal Progresif DPP IMM, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta

1 comment:

Anonymous said...

Как говорилось на Seexi.net Вот решила позвать домработницу на помощь. Муж не может помочь абсолютно, кроме всего прочего уже не будет этого делать. А я просто устала. Есть такие у кто обзавелся платными помощницами? Сколько вы за это платите и где вы их нашли? и еще, как Ваш муж отреагировал на то, что в дом будет приплестись посторонняя тетя