Kumpulan Tulisan dan Berita tentang Gerakan Mahasiswa

Saturday, April 08, 2006

Kekerasan dalam Gerakan Mahasiswa: Demonstran/Pemberang?

http://www.bubu.com/kampus/maret99/fokus3.htm


Banyak kritik, gerakan mahasiswa belakangan ini dianggap tak lagi murni, dan sudah mulai memaksakan kehendak. Terutama karena merekapun mulai mempraktikkan kekerasan sebagai reaksi balik atas sikap represif aparat keamanan yang diterimanya. Kok bisa ya? Bukankah dulunya mereka semua adalah "anak-anak manis" yang berhasil didepolitisir oleh Orde Baru?

Dalam banyak pemberitaan pers, berbagai kesempatan perbincangan, atau sekedar nguping pembicaraan orang di bus, halte, atau mana saja, kemarin-kemarin ini memang sempat menguat kecemasan bercampur kecewa orang kebanyakan soal aksi-aksi mahasiswa belakangan ini. Keluhan mereka rata-rata sama: demonstrasi mahasiswa = macet di mana-mana, lalu soal turut beringasnya aksi-aksi mahasiswa dalam menyikapi perilaku represif aparat keamanan. Bahkan keluhan-keluhan ini kemudian bisa berkembang lebih parah lagi dan bermetamorfosis menjadi kecurigaan atas kemurnian motif dari setiap aksi mahasiswa, yang memang lebih banyak digelar dengan memenuhi-sesaki jalanan.

Untuk keluhan yang pertama –tanpa berpretensi mewakili suara seluruh kawan-kawan mahasiswa yang menggantungkan kerinduannya di jalan raya— harap dimaafkan. (Barangkali –mirip yang dilakukan para pekerja galian telepon atau ledeng— besok-besok setiap kali diadakan demonstrasi, mahasiswa harus memasang plang: "Maaf perjalanan anda terganggu. Anda harap mengambil jalan lain. Indonesia masih dalam perbaikan") Menduduki jalan raya dengan massa dalam jumlah besar memang sejak lama lazim dipakai untuk memperagakan protes kepada para penguasa yang tuli hatinya, beku nuraninya, dan membenci perubahan. Tujuannya jelas, sekali lagi peragaan. Unjuk rasa –bukan pertama-tama unjuk kekuataan— bahwa ada suara-suara ketidakpuasan yang gagal diserap oleh dinding-dinding gedung parlemen dan para penghuninya. Soal efektivitas cara ini, semua orang boleh berargumen dengan bukti masing-masing. Tapi cara ini memang sudah terlanjur menjadi tradisi. Karenanya, barangkali memang perlu ada proses pencanggihan metode aksi di masa mendatang, tentunya dengan tidak mengabaikan urgensi untuk mengakomodasi berbagai dukungan dan kritik dari masyarakat.

Memang, masih ada banyak cara menyatakan protes. Sebagai contoh, dalam bukunya The Politics of Nonviolent Action (1980), Gene Sharp mencatat ada sekitar 198 metode aksi nirkekerasan yang berhasil dihimpun dari sejarah gerakan politik dari berbagai belahan dunia. Itu yang tertulis, masih banyak metode yang tidak tertulis melekat dalam budaya masyarakat yang belum ditemukan. Juga, dari ke-198 aksi itu kemungkinan bisa berkembang lebih banyak tergantung kreativitas manusia dalam mengembangkannya sesuai dengan rezim politik yang dihadapinya. Dengan bukunya itu, Sharp -- yang pernah dijuluki sebagai ''Machiavelli nirkekerasan'' itu -- menolak anggapan umum bahwa metode nirkekerasan Gandhi tidak taktis untuk gerakan perubahan praktis untuk gerakan perubahan politik. Sebaliknya, kajian historisnya menunjukkan bahwa umat manusia dengan cara mereka masing-masing telah melakukan aksi nirkekerasan ketika ditindas oleh rezim berkuasa. Memang ada sebagian yang gagal mencapai perubahan politik cepat, tetapi sebagian besar berhasil mengesankan.
Dari sekian banyak macam metode aksi itu, Sharp membaginya ke dalam tiga bagian besar menurut derajat intensitasnya: (1) protes, demonstrasi, dan persuasi; (2) nonkooperasi ekonomi, sosial, politik; dan (3) intervensi tanpa kekerasan. Ketika dengan protes, demonstrasi, dan persuasi, sudah berhasil, metode nonkooperasi tidak dipergunakan. Metode intervensi dipakai hanya sebagai senjata pamungkas, ketika protes, persuasi, nonkooperasi, tidak berhasil.
Metode pertama adalah penyampaian tuntutan dengan jalan komunikasi publik, agar penguasa menanggapinya. Komunikasi tidak terbatas verbal, tetapi juga simbolik dan interaktif. Terdapat sekitar 54 metode termasuk di sini, di antaranya pernyataan publik, deklarasi, petisi, slogan, karikatur, poster, leflet, lobi, simbol pakaian, warna bendera, gambar seseorang sebagai protes, doa protes, drama, musik, parade, upacara kematian korban represi, pengiriman deputi perwakilan, duduk di jalan, walk-out, dan sebagainya.

Metode nonkooperasi adalah aksi nirkekerasan dengan cara tidak mau kerjasama dengan rezim atau memutus hubungan dengan rezim sehingga kepentingan rezim terganggu. Sekitar 103 macam metode termasuk di sini. Di antaranya, boikot, penundaan dukungan, mogok, keluar dari lembaga tertentu, tinggal di rumah saja, pergi hijrah, boikot ekonomi, embargo, sanksi ekonomi, menolak mendukung, menolak membantu, memblok komando dan informasi, menolak rapat, menolak dialog, dan sebagainya.

Metode intervensi diambil ketika kedua metode di atas tidak berjalan. Ia sebagai cara terakhir karena di dalamnya memiliki risiko tinggi. Metode ini adalah menekan secara psikologis dan fisik tanpa kekerasan kepada pihak lawan atau penguasa. Terdapat sekitar 41 macam aksi masuk di sini. Di antaranya ialah puasa, mempuasai hari-hari jatuhnya korban, mogok makan, menduduki tempat strategis, membuat alternatif organisasi massa, blokade tempat simbol penindasan, membuka kedok agen rahasia, membebaskan tahanan politik, memutus hubungan penguasa dengan pendukungnya, memojokkan posisi penguasa dari pergaulan internasional, dan sebagainya.

Sebagian besar aksi di atas telah dipraktikkan mahasiswa dalam banyak aksinya sepanjang tahun 1998 dengan hasil yang cukup gemilang. Prinsip dari semua aksi itu adalah nirkekerasan. Aksi demikian bisa berhasil efektif tanpa pengorbanan massa yang besar. Namun, aksi demikian akan efektif bila dilakukan secara konsisten, keberhasilan yang satu mendukung lainnya. Aksi nirkekerasan secara konsisten dapat meruntuhkan struktur bangunan kekuasaan, karena kekuasaan pada dasarnya bersandar pada hubungan kooperatif antara penguasa dan yang dikuasai, yaitu rakyat. Bila hubungan itu goyah dan retak, maka penguasa akan kehilangan pijakan. Semua jenis aksi di atas sedikit banyak menggoyahkan hubungan penguasa dan rakyatnya. Penguasa yang cerdas biasanya sangat tahu bahaya ini. Mereka akan segera merespons munculnya aksi dengan segera, bahkan sejak metode pertama muncul, kalau tidak ingin kehilangan basis kekuasaannya.

Sementara untuk keluhan yang kedua, jawabannya ternyata lebih sulit, dan sepertinya memang tidak cukup dengan sebuah permintaan maaf atau permakluman. Kalau dikatakan mahasiswa tidak mengerti politik tanpa kekerasan, itu tidak benar. Sebagian besar, kalau tidak dikatakan semua, protes mahasiswa selama ini sebenarnya demonstrasi tanpa kekerasan. Mahasiswa baru mengambil cara kekerasan, itu pun sangat minim seperti melempar dengan batu, sebatas untuk melindungi diri dari aparat yang brutal. Juga, demonstrasi mahasiswa selama Reformasi Damai antara Februari-Mei 1998 lalu yang berhasil menurunkan Soeharto hampir semua bersifat damai, tanpa kekerasan. Mengapa mahasiswa di Jakarta akhir-akhir ini tiba-tiba mengambil cara kekerasan? Melihat tindakan mahasiswa yang bersifat menyerang (offensive), mahasiswa kelihatan telah kehilangan daya kreasi dan terperangkap dalam cara kekerasan. Kawab-kawan mahasiswa sepertinya telah memasuki wilayah kekerasan. Mahasiswa telah menuntut perubahan politik dengan pemaksaan kehendak dengan kekuatan fisik (coercion by force) yang bisa mengerasi, melukai, bahkan menelan korban nyawa, mungkin nyawa mahasiswa sendiri, nyawa aparat, atau pihak lain.

Sejumlah suara kritik bahkan sudah mencemaskannya begitu jauh hingga ada yang sampai membayangkan bisa jadi saja nanti akan berkembang faksi-faksi garis keras dari kalangan mahasiswa yang berkembang mirip Brigade Merah di Italia, Tentara Merah di Jepang, atau kelompok-kelompok teroris ternama lainnya yang memang banyak beranggotakan para mantan aktivis mahasiswa yang sudah terlanjut frustasi dan memilih kekerasan dan terorisme sebagai sarana perjuangannya. Kalau sekarang baru pentung versus pentungan, gas air mata dan pelor versus lemparan batu ala intifadah, jangan-jangan di kemudian hari berkembang menjadi bom bunuh diri, atau modus-modus lain yang tak kalah menyeramkan. Wow!
Kalau mau disebut frustasi –sama seperti motivasi yang melatarbelakangi para anggota kelompok-kelompok penebar teror yang telah disebut di atas— barangkali memang ada sebagian kawan mahasiswa yang mengalaminya, tentunya dalam kadar dan tingkatan yang berbeda. Radikalisasi di mana-mana memang muncul dan berakar kuat dari menguatnya ketidakpuasan. Namun hal ini tidak bisa menjelaskan radikalisasi tiban –menjadi radikal dalam sekonyong-konyong— yang terjadi pada sekelompok besar mahasiswa Jakarta? Bukankah mereka terhitung "lebih miskin" tradisi aksi ketimbang banyak rekan mahasiswa di kota-kota "biang demo" seperti Bandung, Yogya, Semarang, Malang, Makassar, dan lain-lainnya?
Sejumlah analisis barangkali bisa kita pinjam untuk menjelasnya. Tapi sebagian besar bersepakat bahwa ada ketidakpuasan yang akumulatif, terus bertimbun. Kemarahan dan kekecewaan yang menggunung seperti itu memang selalu menjadi "lahan persemaian" yang subur bagi pemikiran-pemikiran radikal. Nah, hal itu makin kondusif karena "diberi pupuk", ada situasi yang secara obyektif mendukungnya, yakni berlarut-larutnya krisis ekonomi yang membuahkan kehancuran kredibilitas pemerintah di hadapan rakyatnya. Hasilnya, muncul sebuah kesadaran baru yang fenomenal, sebuah kesadaran to do something. Nah, begitu kesadaran ini hampir mematang, secara terus menerus dibenturkan oleh kenyataan empirik bahwa suatu perubahan senantiasa bukanlah sebuah proses tawar menawar yang berjalan mulus. Ada konflik keras di sana, ada korban yang jatuh karenanya. Di saat seperti itu, kekesalan yang memuncak akibat terlalu gemas menyaksikan perubahan yang diharapkannya tak kunjung terjadi, rasa frustasi mulai muncul. Cara-cara lama menegoisasikan kehendak pun mulai dikaji ulang. Sebagian mereka yang belum sampai pada kepenuhan pemahaman bahwa perjuangannya itu adalah sebuah "pekerjaan jangka panjang", tidak segan-segan memangkas akal sehatnya. Tanpa pikir panjang, mereka merasa perlu mengelaborasi lebih lanjut prinsip-prinsip nirkekerasan –tanpa menutup sikap pembelaan diri tentunya—dengan mencari jalan lain yang bisa lebih efektif, sekalipun sedikit banyak hal itu mengandung prinsip kekerasan yang dikecamnya sendiri. Situasi ini diperparah oleh belum terkonsolidasinya secara baik kesadaran massa. Sehingga setiap aksi yang dilakukan selalu beresiko bakal dimuati oleh banyak "turis-turis politik", sejumlah mahasiswa yang ikut aksi tanpa didukung oleh kematangan refleksi atas aksinya dan hanya mengalaminya sebagai sebuah petualangan yang memacu adrenalinnya –sebuah kebutuhan eksistensial yang memang melekat dengan karakter kemudaannya.
Penjelasan di atas dapat dengan mudah memperoleh pembenaran, cukup dengan mencermati betapa cairnya ikatan politis –apalagi ideologis— massa yang selama digelar. Harap maklum, setelah sekian lama didepolitisasi, sebagian besar kawan terlanjur menjadi mahasiswa yang mahal dan manja. Kehadiran sebagian mereka sebagai "penggembira" dalam setiap aksi sesungguhnya berbahaya –meskipun kuantitas mereka sangat signifikan untuk "menggentarkan" lawan. Dengan kesadaran politik yang masih sungguh cair, dan masih berkutat sebatas slogan, sulit bagi mereka untuk bisa menempatkan dirinya sebagai massa aksi.
Pantas dipertanyakan bila sebagian aktivis menilai bahwa dialektika pemikiran tentang paradigma gerakan telah selesai, seolah-olah telah terbangun sebuah ideologi gerakan yang terlalu suci untuk selalu direevaluasi. Kita bisa bersepakat pada perubahan politik sebagai muara dari pergerakan ini, tapi visi mereka yang menempatkan mobilisasi untuk melakukan perlawanan terbuka dan frontal justru akan berhadapan dengan tembok yang terlalu keras untuk bisa ditembus saat sebagian besar anggota masyarakat dan kelompok-kelompok strategis lainnya belum siap.

Ini jelas bukan penghakiman. Siapapun boleh saja setuju, atau berseberangan dengan analisis ini. Pahamilah, deras bergulirnya dinamika gerakan mahasiswa selalu membuka kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan internal, ataupun pergeseran visi dalam memahami gerakan kita ini. Satu-satunya yang tak bakal berubah adalah kesepakatan kita bersama: kita akan terus bergerak sampai perubahan yang kita rindukan bakal terjelang. Setiap penindasan senantiasa akan mendatangkan perlawanan. Sepakat?

Andreas Ambar Purwanto

1 comment:

SEKJEN PENA 98 said...

bicara gerakan mahasiswa, belumlah lengkap kalo gak buka www.pena-98.com dan atau www.adiannapitupulu.blogspot.com